Jakarta, Aktual.com — Pemerintah dan Komisi XI DPR, Senin (30/11) malam, sepakat memulai rapat panitia kerja untuk membahas sembilan pokok masalah RUU JPSK dengan inventarisasi masalah terbanyak mengenai penentuan penanggung jawab dalam penanganan krisis keuangan.

“Pandangan kami, jika boleh, pengambilan keputusan penentu (krisis) ada di Presiden. Mengingat keputusan dan dampaknya yang akan begitu besar terhadap perekonomian,” kata Ketua Komisi XI DPR, Fadel Muhammad di Jakarta, Senin (30/11), setelah menyerahkan total 409 daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk RUU yang diinisiasi pemerintah tersebut.

Fadel mengatakan bahwa Komisi XI sejalan dengan pemerintah agar pembahasan DIM RUU JPSK tersebut dapat dipercepat. Dengan demikian, RUU JPSK dapat disahkan menjadi UU JPSK sebelum masa sidang berakhir pada tanggal 18 Desember 2015.

Beleid JPSK tersebut, diakui Fadel, teramat penting untuk menjadi landasan hukum pemerintah dan tiga otoritas sektor keuangan dalam menerapkan kebijakan memelihara stabilitas sistem keuangan.

Panja antara Komisi XI, yang diwakili Wakil Ketua Prakosa, dan pemerintah yang diwakili Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara, akan dimulai pada Senin malam ini di sebuah hotel mewah di Jakarta.

Selain masalah penanggung jawab dalam penanganan krisis, Fadel menyebutkan dua masalah utama yang juga disoroti Komisi XI adalah upaya meminimalkan penggunaan dana talangan dari APBN atau “bailout” dalam menyelamatkan perbankan.

“Selanjutnya adalah yang berhubungan dengan Bank Indonesia (BI) sebagai ‘lender of resort’ kalau pemerintah kurang (uangnya),” kata Fadel.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan usulan dari Komisi XI itu.

“Ya, nanti kita lihat, kalau cukup pakai dana BI atau LPS, ya, tidak perlu tanggung jawab Presiden. Masalahnya, pada penggunaan uang negara ini saja,” kata dia.

Adapun sembilan pokok masalah atau substansi dalam RUU JPSK, yakni: pertama, pencabutan Peraturan Pengganti UU (Perppu) JPSK. Ihwal pertama ini sudah rampung dilaksanakan.

Kedua, pertimbangan ruang lingkup UU JPSK hanya sektor perbankan. DPR dalam DIM mengusulkan sistem keuangan meliputi lembaga, pasar, dan infrastruktur keuangan.

Ketiga, Penyelenggara JPSK yang termasuk pemantauan dan mitigasi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan (SSK) dan mekanisme penanganan krisis meliputi Keempat, penetapan dampak sistemik, yang mengikuti mekanisme manajemen krisis; kelima, penanganan masalah bank melalui “private solution” dan sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK; keenam, penanganan masalah likuiditas, apakah mengikuti penanganan krisis menggunakan dana publik dan sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK; ketujuh, penanganan masalah solvabilitas.

Kedelapan, penanganan masalah sejumlah bank yang berjumlah masif. DIM menyebutkan perlu penegasan fungsi LPS sebagai lembaga penjaminan dan sebagai lembaga penanganan bank gagal, baik yang berdampak sistematik maupun nonsistematik sesuai dengan UU LPS.

Kesembilan, perlindungan hukum untuk KSSK. Dalam RUU JPSK disebutkan tidak ada pasal imunitas, hanya ada bantuan hukum.

Dalam DIM, disebutkan adanya keengganan pengambilan keputusan, misalnya pengambilan keputusan dengan musyawarah tanpa hak veto sehingga perlindungan hukum perlu dipertegas.

Artikel ini ditulis oleh: