Jakarta, Aktual.com – Khadim Zawiyah Arraudhah dan Mudir Jam’iyah Ahlut Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah (JATMAN) Idaroh Wustho DKI Jakarta KH. Muhammad Danial Nafis menjelaskan, makna zuhud bagi para ulama bukanlah meninggalkan aktifitas dunia dan tidak peduli dengan persoalan kesejahteraan umat.
“Saya kurang sependapat dengan pandangan ulama tasawuf terdahulu yang memetakan konsep zuhud itu meninggalkan dunia dengan memilih pakaian yang lusuh dan makanan yang tidak enak. Karena hakikat zuhud adalah tidak meletakkan dunia dalam hati dengan tidak panjang angan-angan (untuk bisa terus hidup di dunia),” terang Kiai Nafis dalam Kajian Rutin Ndalem di Tebet, Jakarta Selatan pada Senin (20/6).
“(Sebagian) Ulama tasawuf terdahulu sering mengesampingkan potret kehidupan sahabat yang kaya raya dan suka menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf.” tutur Kiai Nafis.
“Pemahaman seperti ini khawatir akan menyebabkan umat acuh tak acuh akan perkembangan dunia pada masa sekarang serta permasalahan kesejahteraan umat karena tidak memilki kekuatan dari segi finansial untuk membangun umat yang sejahtera dan makmur. Akhirnya inilah yang membuat kita hanya sebagai konsumen dan penonton dari produk yang dibuat oleh orang kafir dan sekuler,” jelas Kiai Nafis.
“Sebenarnya ketika kita menilisik lebih banyak karya ulama, akan menemukan pendapat bahwa Harta (juga) merupakan perisai bagi seorang mukmin. Seperti halnya yang dijelaskan Abu Nu’aim Al-Ashfihani dalam karya monumentalnya Hilyat Al Auliya wa Thabaqath Al Ashfiya:
عن داود بن الجراح ، قال : سمعت سفيان الثوري يقول : كان المال فيما مضى يكره فأما اليوم فهو ترس المؤمن.
“Dahulu harta adalah sesuatu yang makruh (tidak disukai), adapun sekarang, harta adalah perisai bagi orang mukmin.”
Dan simak juga kutipan penjelasan beliau sebagai berikut:.
عن عبد الله بن محمد الباهلي. قال: جاء رجل إلى الثوري فقال يا أبا عبد الله تمسك هذه الدنانير؟ فقال: اسكت لولا هذه الدنانير لتمندل بنا هؤلاء الملوك.
Ada seseorang menghampiri Imam Ats Tsauri seraya berkata, “Wahai Abu Abdillah, Ulama sekaliber Anda memegang harta dinar sebanyak ini?”. “Diam”, kata Imam Ats Tsauri pada orang itu, “Seandainya tidak ada harta ini niscaya kita akan dianggap babu oleh para raja itu.”
قال : وقال سفيان : من كان في يده من هذه شيء فليصلحه، فإنه زمان من احتاج كان أول ما يبذل دينه
“Barangsiapa memiliki harta maka kelola lah dengan baik, sebab ini adalah zaman dimana saat orang butuh (makan dan tidak punya uang) maka yang pertama ia jual adalah agamanya.”
“Oleh karena itu janganlah takut untuk memiliki banyak harta apalagi (sampai) menjauhinya, ketika kita punya harta jadilah orang yang merasa diamanahi Allah sehingga dalam hati terpatri bahwa ini adalah titipan-Nya, bukan yang akan kita bawa kelak hingga liang lahat,” tukas Kiai Nafis.
Selain itu, Kiai Nafis berharap dan mendoakan para santri agar memiliki mental untuk menjadi muslim yang kaya raya, agar dapat memiliki keikhlasan dan mendapatkan kemudahan ketika berdakwah dan menyebarkan ilmunya.
“Saya berdoa dan berharap agar seluruh murid dan santri saya menjadi orang kaya yang penuh syukur, sebab santri yang melarat zaman sekarang itu kurang didengar dan bahkan tidak diperhitungkan, dakwah dan nasyrul Ilminya pun jadi banyak hambatan, meskipun ia ‘alim.” kata Kiai Nafis.
“Tapi jangan berharap kaya dengan mengajar. Cari pekerjaan di luar mengajar, dan sebab wasilah mengajar itulah insyaAllah rejeki akan semakin mudah dan barakah,” pungkas Kiai Nafis. (Arfan)
Artikel ini ditulis oleh:
Editor: As'ad Syamsul Abidin