JAKARTA, aktual.com – Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) Tentang Pelibatan TNI Mengatasi Aksi Terorisme, hingga saat ini belum dilakukan pembahasan oleh pimpinan DPR RI.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Imparsial (Indonesian Human Rights Monitor), Al Araf mengatakan, pelibatan TNI dalam menangani terorisme dapat dilakukan apabila eskalasi ancaman yang ada, sudah tidak dapat ditangani oleh aparat penegak hukum (kepolisian).

“Tapi itu pun harus dilakukan melalui keputusan politik negara” kata Al Araf dalam Seminar online Center For The Study Of Religion And Culture/CSRC Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, berjudul Quo Vadis Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme, Jumat (21/8/2020).

Kata dia, pelibatan TNI sebenarnya tanpa adanya R-Perpres dapat bertindak atas dasar UU TNI, namun tetap mengacu pada upaya penanganan terakhir apabila beyond capacity dari aparat penegak hukum.

Ia pun mencontohkan pelibatan militer sebaiknya ditujukan untuk menghadapi ancaman eksternal, semisal ancaman terhadap kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri dan pembajakan kapal di Somalia.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti menyatakan, R-Perpres tentang Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme masih terdapat masalah, sehingga harus dibahas secara tidak terburu-buru, transparan, dan partisipatif.

Ia mengatakan, pada prinsipnya jangan sampai upaya pemberantasan terorisme menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM.

“Raperpres pelibatan TNI dalam menangani terorisme harus mengacu pada, apakah Raperpres telah sesuai dengan prinsip negara hukum. Prinsip negara hukum bertumpu pada asas-asas pembatasan kekuasaan berdasarkan hukum dan hak asasi manusia,” kata Bivitri.

Bivitri menjelaskan, model keterlibatan militer dalam penanganan terorisme seharusnya mengacu pada perbantuan terhadap otoritas penegak hukum dan konsep Criminal Justice Model. Di Indonesia, pendekatan tersebut melalui konsep Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

“Pendekatan terorisme adalah tindak pidana sehingga tunduk pada soal keamanan, bukan pertahanan. Perbantuan militer terhadap instansi sipil bersifat last resort, di bawah kendali otoritas sipil dan terbatas pada penguatan kapabilitas yang dibutuhkan,” ujarnya.

Pelibatan militer dalam OMSP dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara. Apa itu keputusan politik negara? Menurut penjelasan Pasal 5 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI adalah keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR.

“Masalahnya dalam Raperpres pengerahan TNI hanya cukup dengan perintah Presiden,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: A. Hilmi