SEPENUHNYA saya berusaha menyadari, bahwa pilihan untuk menolak pembangunan NYIA Kulonprogo agaknya adalah sebuah keputusan yang melawan arus utama, setidaknya dari sejumlah pemberitaan media massa atau dari beberapa komentar di forum-forum media sosial.

Ada sementara orang yang justru mempertanyakan, bukankah Bandara akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah? Kalau secara ekonomi meningkat, bukannya warga makin sejahtera?

Lagipula, kata Presiden tempo hari, atau Gubernur, atau Angkasa Pura 1, atau bahkan mungkin dialami sendiri oleh masyarakat pengguna jasa transportasi udara, bahwa Bandara Adisutjipto sudah sumpek dan berdesakkan, kapasitas tak lagi memadai. Kalau begitu, lantas kenapa Bandara ditentang?

Jawaban dari pelbagai pertanyaan itu menjadi representasi alasan para pengurus negara ini untuk mendirikan NYIA di Kulonprogo. Sebuah alasan yang terus-menerus diagitasikan dengan segala cara, menggunakan macam-macam medium propaganda. Supaya khalayak percaya, Bandara baru menjadi kebutuhan mendesak.

Tapi kau bisa lihat gambar-gambar berikut (diatas). Setidaknya Kecamatan Temon atau dalam skala yang agak luas mungkin Kabupaten Kulonprogo, akan berubah menjadi sedemikian rupa. Bagaimana Kabupaten/Kota lain? Bisa jadi akan mengikuti.

Pesan yang hendak saya sampaikan, NYIA Kulonprogo adalah titik mula lenyapnya ruang hidup (mohon dimaknai secara luas, baik yang bersifat materiil maupun non materiil) di daerah-daerah lain. Semua itu dapat terjadi akibat dari pilihan arah pembangunan DIY yang berorientasi pada sektor pariwisata.

Dalam bahan presentasi berjudul ‘Pembangunan Infrastruktur Transportasi Dalam Mendukung Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta’ yang dipaparkan oleh Kepala Bappeda DIY pada 7 Januari 2017, pariwisata disebutnya sebagai Renaissance Jogja, yang menempatkan laut sebagai halaman depan DIY (sabuk ekonomi pesisir: among tani dagang layar).

Bahkan, dalam forum yang sama Angkasa Pura 1 dalam bahan presentasi berjudul ‘Pembangunan Bandar Udara di Kulon Progo Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi & Pariwisata di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta’ dengan berani mendeklarasikan Provinsi DIY adalah salah satu pintu gerbang pariwisata di kawasan ASEAN. Industri pariwisata berkembang pesat dan ribuan wisatawan asing masuk ke DIY.

Masalahnya, pariwisata tidak cuma butuh tanah petani di Kecamatan Temon untuk meletakkan infrastruktur pokok berwujud NYIA Kulonprogo. Tapi, diperlukan pula sarana sekunder yang akan menunjang kepentingan pariwisata itu sendiri.

Oleh karenanya, NYIA Kulonprogo sejatinya sekadar dikonsepkan sebagai pemicu agar Kulonprogo bertransformasi menjadi Kulonprogo yang aerotropolis, sebuah kota yang tata letak, infrastruktur dan ekonomi berpusat pada bandar udara. Konsekuensinya akan muncul pusat bisnis baru, misal wacana berdirinya Disneyland, Airport City, New Smart Town dan MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition).

Tampaknya tidak berhenti di Kulonprogo saja. Guna menunjang industri pariwisata, mulai terdesainlah sebuah kota dengan ‘rasa metropolis’. Gejala seperti ini terlihat di daerah perkotaan, dengan maraknya ekspansi hotel, apartemen, pusat-pusat perbelanjaan di Yogyakarta dan Sleman, yang tentu tidak menutup kemungkinan merambah ke wilayah rural (pedesaan) lain.

Akibatnya apa? Sumpah serapahmu terkait jalanan yang macet, berdirinya gedung-gedung pencakar langit, banjir di sejumlah titik dan lain-lain barangkali dapat mewakili akibat tersebut.

Namun, kalau boleh saya terjemahkan, hak-hak fundamental warga seperti hak atas tanah, hak atas air, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak atas kehidupan yang sejahtera lahir batin musnah begitu saja dengan narasi “pembangunan kepentingan umum”.

Pada akhirnya, Bandara, hotel, mall, apartemen serta pusat-pusat bisnis baru lain yang sedang tumbuh-kembang dewasa ini mau tidak mau harus diakui dihubungkan oleh suatu benang merah. Sederhananya, kalau kau menolak pembangunan hotel, mall dan apartemen, maka seyogyanya kau juga harus menolak NYIA Kulonprogo.

Silakan direnungkan, sebelum terlambat.

Yogi Zul Fadhli, Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta

Artikel ini ditulis oleh: