Energi Impor Disubsidi, Bagaimana dengan Energi dari dalam Negeri?

Mantan Dirut Pertamina, Ari Soemarno menilai pemerintah tidak sepenuhnya mendukung pengembangan EBT. Salah satu diantaranya adalah Permen PLTS surya atap yang dikritisi oleh berbagai pihak. Langkah tersebut, menurut Ari, merupakah sikap pemerintah yang tidak ingin pengembangan sektor EBT dipromosikan. Pasalnya, bagaimanapun juga, EBT menghabiskan biaya lebih mahal daripadi energi fosil.

“Inti masalahnya, PLN menilai dari segi keekonomian mereka. Kalau dilihat dari sisi keekonomian PLN, langkah tersebut betul. Apalagi mereka menjual listrik belum mencapai nilai ekonomi yang penuh, ditambah beban subsidi yang masih besar. Betul itu dari sisi PLN,” ujar Ari kepada Aktual.

Menurutnya, PLN akan merugi karena konsumsi menurun. “PLTS bisa merugikan PLN karena saat ini PLN sedang kelebihan pasokan listrik. Sedangkan dorongan membangun PLTS di daerah terpencil masih rendah karena konsumsi juga rendah, pendapatan rendah, jadi itu alasan PLN saja, justru di sini (Jakarta) orang bisa bangun PLTS,” terangnya.

Dirinya mengungkapkan bahwa Undang-undang BUMN membuat PLN tak bisa berbuat banyak, disatu sisi harus membiayai dirinya sendiri serta mendapatkan keuntungan, disisi lain harus menjadi perusahaan yang memberikan pelayanan terhadap masyarakat melalui subsidi energi.

Hal tersebut menunjukkan tidak ada konsistensi pemerintah dalam hal kebijakan energi nasional. Sejak pemerintahan baru, kebijakan energi secara keseluruhan makin kacau dan tidak jelas, mereka semua masih berpikir populis bahwa energi itu masih murah. “Padahal energi itu tidak murah, mereka belum ada yang beranjak dari situ, apalagi menghadapi tahun politik,” terangnya.

Menurutnya, persolan mendasar energi saat ini adalah masih ada kebijakan subsidi yang dilakukan pemerintah. “Ini yang menjadi setannya, menjadi hambatan kebijakan energi secara keseluruhan. Apalagi subsidi listrik, BBM, semua sama saja,” jelasnya.

Kedua, adalah masih ada anggapan bahwa pendapatan migas sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). PNBP dari migas ini membuat Indonesia tidak beranjak keluar dari permasalahan energi. Seharusnya kebijakan energi itu dikembalikan untuk pembangunan sektor energi lagi, serta bisa dimanafaatkan masyarakat langsung.

“Misalnya, apa yang dikemukakan Tumbur (IPA), pendapatan langsung negara tidak perlu ada dari PNBP. Dengan hal itu, sektor Migas dengan biaya produksi tinggi bisa dijual ke rakyat rendah dengan harga rendah. Pendapatan yang seharusnya disetor ke negara, bisa digunakan untuk subsidi ke masyarakat langsung,” terangnya.

Kebijakan tersebut berakibat bekurangnya pendapatan negara dari sektor migas yang sudah 70 tahun dilakukan. Pendapatan tersebut, dipakai untuk pembiayaan lain, yang bukan untuk membangun sektor migas lagi. “Kalau ini tidak diatasi, EBT tidak akan berkembang, tapi mau buang setannya ya susah,” ungkapnya.

Terkait PLTS surya atap dihargai lebih murah, menurutnya PLN melindungi agar harga keekonomian tetap rendah. Kalau tidak rendah, pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk menambah subsidi. UU BUMN menyebutkan bahwa PLN diharuskan bisa berdiri sendiri sekaligus menjadi PSO.

“Dilematisnya, kok justru energi impor disubsidi, BBM impor disubsidi. Tetapi EBT dari dalam negeri sendiri malah engga disubsidi. Kesalahan lain adalah kebanyakan orang awam di sektor energi tidak mempunyai pengalaman dan kemampuan profeisonal dibidang energi. Itu yang sekarang menduduki sektor pimpinan di energi, coba perhatikan mulai dari Menteri, Wamen, dirut PLN, Dirut Pertamina hingga Kepala SKK Migas,” tegasnya.

Next, Siapa Bos-nya PLN?

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka