Pemilu Malaysia yang baru saja diusai menyisakan cerita tersendiri baik bagi para rakyat negeri tersebut, maupun Negara tetangga di Asia, tidak terkecuali Indonesia. Sebab, nama kedua calon perdana menteri itu tidak asing di kancah perpolitikan dunia.

Mahathir Muhammad, mantan perdana menteri yang berkuasa selama 22 tahun, dan menjadi tokoh sentral dalam mendorong perubahan tersebut. Mahathir berhasil merobohkan Barisan Nasional, kekuatan politik yang dia besarkan saat berkuasa dahulu. Meski sempat pensiun dari perpolitikan Malaysia, pria 92 tahun itu kembali masuk ke gelanggang pertarungan dengan mendirikan Partai Pribumi Bersatu Malaysia, dua tahun lalu.

Yang kemudian, partai bentukannya itu bersatu dengan partai oposisi lain, seperti Partai Keadilan Rakyat pimpinan Wan Azizah Wan Ismail, Partai Aksi Demokratis, dan Partai Amanah Nasional.

Dan dengan mengejutkan, koalisi oposisi di bawah bendera Pakatan Harapan itu mampu mengalahkan Barisan Nasional yang mengusung kembali Najib Razak.

Padahal, Mahathir yang pernah menjadi sosok sentral di Barisan Nasional, juga merupakan mentor politik Perdana Menteri Najib Razak. Ketika itu, Mahathir meninggalkan partai koalisi pemerintah pada tahun 2016. Saat meninggalkan partai, perdana menteri periode 1981-2003 itu mengatakan dirinya malu untuk dikaitkan dengan partai politik yang dicitrakan sebagai sarang koruptor tersebut.

Bergabungnya Mahathir dalam barisan koalisi oposisi sempat membuat bingung rakyat Malaysia ketika itu. Tentunya, bukan tanpa sebab bergabungnya Mahathir untuk melawan bekas partainya itu.

Masyarakat Malaysia tentunya, kini menaruh harapan besar pada Mahathir karena ia dulu mampu menjadikan negara ini salah satu kekuatan ekonomi Asia. Bahkan, Mahathir sendiri berjanji tidak menerapkan politik balas dendam dan menyerahkan pengusutan skandal 1MDB ke penegak hokum yang diduga dilakukan pemerintahan Najib Razak kepada aparat penegak hukum.

Babak Baru Transisi Politik Malaysia

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang