Yogyakarta, Aktual.com – Peneliti dari Goucher College, Amerika Serikat Dr Julie Chernov Hwang mengemukakan berdasarkan hasil riset yang dilakukan banyak para ekstremis di Indonesia, memilih meninggalkan cara-cara kekerasan dan kembali berbaur dengan masyarakat.

“Mayoritas mereka jalan lewat proses ‘disengagement’ (meninggalkan kelompok mereka, Red),” kata Julie Chernov Hwang, saat membedah bukunya yang berjudul “Why (Terrorist Quit: The Disengagement of Indonesian Jihadists”, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (3/8).

Julie mengutarakan hal itu berdasarkan penelitian yang dilakukan mulai 2010 hingga 2016.

Dalam penelitian itu, Julie mewawancarai sebanyak 55 orang yang pernah atau pun sedang memiliki afiliasi dengan kelompok ekstremis Islam, seperti Jamaah Islamiyah, Laskar Jihad, Mujahidin KOMPAK, Tanah Runtuh, dan Ring Banten.

“Mereka adalah orang yang ada di penjara, tidak pernah ikut ke penjara, masih ikut kelompok mereka, dan 3 hingga 4 orang ada di jaringan dan masih punya pikiran radikal,” kata dia.

Julie menyebutkan, berdasarkan hasil penelitiannya dari 55 orang ekstremis yang diwawancarai, 49 orang di antaranya memilih kembali berbaur dengan masyarakat. Meski beberapa mereka masih mau ikut aksi kekerasan.

“Hanya empat orang yang masih mau ikut aksi kekerasan atau masih ikut aksi yang mendukung kekerasan seperti membawa senjata,” kata dia.

Ia mengatakan ada beberapa fase dalam proses reintegrasi seorang ekstremis, di antaranya timbul kealihsadaran yang berujung pada kekecewaan terhadap pemimpin kelompok dan aksi yang dilakukan.

“Kekecewaan ini bisa dialami terhadap taktik atau cara yang dilakukan di kelompok tersebut, kecewa pada pemimpin, dan kadang juga kecewa dengan peran dirinya sendiri. Ada yang mengatakan kecewa karena melihat terlalu banyak orang yang menjadi korban,” kata dia.

Kekecewaan tersebut kemudian berlanjut pada rasionalisasi dampak keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari kegiatan ekstremisme yang dijalankan.

Selain itu, hal lain yang tidak kalah penting adalah berkembang hubungan sosial dan pergaulan seorang jihadis di luar kelompok sepemikirannya, serta muncul prioritas-prioritas baru dalam hidup seorang jihadis yang menggantikan gagasan mereka tentang jihad.

Dari berbagai faktor pendorong “disengagement” yang ia temui, dia menyebutkan bahwa relasi menjadi faktor yang paling banyak memberikan pengaruh. Ia mengutip pengakuan dari beberapa narasumber yang menyatakan bahwa relasi yang ia miliki, baik dengan orang-orang baru maupun kerabat yang ia kenal sebelum terlibat dalam kelompok jihad banyak berkontribusi dalam mengubah pikiran mereka.

“Selain relasi pertemanan, fungsi keluarga juga sangat penting untuk menolong mereka yang mau melepaskan diri dari kelompok jihad serta membantu mereka membangun hidup yang baru,” kata Julie.

Dalam bukunya, Julie mengulas proses psikologis, rasional, relasional, dan emosional kelompok ekstremis di Indonesia dalam melepaskan diri dari nilai-nilai kekerasan serta upaya mereka dalam berintegrasi kembali dengan masyarakat.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: