“Jargon Revolusi Mental Jokowi pun menjadi sorotan meski sekarang jargon itu berbeda dengan jargon asalnya setelah Jokowi berhasil merebut kekuasaan. Ketika dulu Revolusi Mental diangkat untuk membangkitkan semangat perlawanan, namun setelah berkuasa, Revolusi Mental dijadikan alat menina bobokan rakyat. Mengganti Agama dengan Revolusi Mental untuk membuat rakyat terlena dan kehilangan semangat perlawanan. Revolusi Mental kemudian menjadi candu yang membius rakyat hingga terlena dengan janji-janji yang bersifat ilusi. Revolusi Mental yang awalnya digunakan untuk kebangkitan perlawanan, maka sekarang Revolusi Mental bertransformasi menjadi candu yang membius. Menjadi wajar kemudian jika presiden Jokowi ingin memisahkan agama dengan politik,” tutur Ferdinand.
“Melihat rakyat kini bangkit melawan berdasar kekuatan agama, melihat aksi 411 dan 212 yang dilakukan oleh umat Islam tahun lalu menjadi fenomena yang ditakutkan penguasa. Terjadi sebuah situasi yang berbalik. Dulu agama menina bobokan, sekarang agama yang membangkitkan semangat perlawanan. Dulu Revolusi Mental untuk membangkitkan perlawanan, sekarang Revolusi Mental menjadi candu menina bobokan rakyat untuk tidak bangkit melawan. Maka menjadi masuk akal ketika Jokowi sebagai penguasa berpikir mengapa agama harus dijauhkan dari politik. Saya melihat ini pertarungan antara Revolusi Mental dengan Agama,” tandasnya.
(Laporan: Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka