Jakarta, aktual.com – Presiden Jokowi telah menonaktifkan Firli Bahuri dari jabatan Ketua KPK dan mengangkat Nawawi Pomolango sebagai penggantinya, mengingat Firli sedang dalam status tersangka. Keputusan ini diharapkan para ahli hukum untuk diadopsi juga terhadap Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang tengah dalam status tersangka kasus korupsi.

“Kita berharap langkah bijak Presiden untuk nonaktifkan Ketua KPK juga dilakukan kepada Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej yang juga berstatus tersangka,” kata pengajar dari FH Universitas Bandar Lampung (UBL), Rifandy Ritonga, kepada wartawan, Selasa (28/11).

Rifandy Ritonga berpendapat bahwa tindakan tersebut diambil untuk memastikan bahwa masyarakat dapat menilai bahwa Presiden Jokowi bertindak adil dan tidak memihak kepada pihak tertentu.

“Hal ini penting dilakukan agar proses hukum yang dijalani bisa berjalan dengan baik, menepis anggapan sifat tembang pilih Presiden, pada kasus hukum yang dihadapi oleh bawahannya. Jika itu benar, hal ini akan berdampak pada kepercayaan publik kepada Pemerintah,” beber Rifandy Ritonga.

Rifandy Ritonga berharap agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengambil langkah cepat dan tuntas dalam penyelidikan kasus korupsi yang melibatkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

“Kita mendorong KPK untuk tidak berlarut-larut pada posisi penetapan tersangka atas dugaan permasalahan hukum Wamenkumham ini. Kita tidak ingin permasalahan ini akan membuat KPK lebih terjun bebas, terlebih setelah penetapan Ketua KPK sebagai tersangka,” ungkap Rifandy Ritonga.

Rifandy Ritonga menegaskan pentingnya menjaga etika bagi pejabat negara. Ini karena perilaku etis para pejabat dapat menjadi teladan bagi seluruh masyarakat.

“Meskipun asas praduga tak bersalah harus selalu dikedepankan dalam permasalahan penegakan hukum, namun kali ini kita semua menyoroti tentang mundurnya sifat malu di kalangan pejabat publik yang terjerat masalah hukum terlebih ini sudah berstatus sebagai tersangka. Ini menjadi ancaman serius bagi kontrol sosial jika rasa malu ini tidak dimiliki oleh setiap pejabat publik yang terjerat permasalahan hukum, terlebih hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi,” beber Rifandy Ritonga.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terakhir terlihat berpartisipasi dalam pertemuan bersama Komisi III DPR. Menurut Rifandy Ritonga, kehadiran dalam rapat tersebut menimbulkan keraguan terhadap moralitas pejabat tersebut.

“Sejauh apa peristiwa hukum yang telah dibuat dan menjadi buah bibir media, bahwa kan telah ada penetapan hukum, namun tetap yang bersangkutan masih tegak berdiri pada jabatan publiknya. Ini menjadi kehancuran moral pengelolaan negara kita, khususnya pelayanan hukum dan hak asasi manusia yang diembannya sekarang,” pungkas Rifandy Ritonga.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, menyatakan bahwa kasus dugaan gratifikasi yang melibatkan Eddy Hiariej telah masuk ke tahap penyidikan. Kasus ini melibatkan empat tersangka.

Alexander menyebutkan bahwa surat perintah penyidikan telah ditandatangani beberapa pekan yang lalu. Ia menjelaskan bahwa tiga tersangka di antaranya merupakan pihak yang diduga menerima gratifikasi, sementara satu tersangka lainnya diduga sebagai pemberi gratifikasi.

“Kemudian, penetapan tersangka Wamenkumham, benar itu sudah kami tanda tangan sekitar 2 minggu yang lalu, Pak Asep, sekitar 2 minggu yang lalu dengan empat orang tersangka. Dari pihak penerima tiga, dan pemberi satu. Itu. Clear, kayaknya sudah ditulis di majalah Tempo,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers, Kamis (9/11).

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, memberikan tanggapan terhadap status tersangka yang diberikan kepada Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy Hiariej, oleh KPK. Yasonna menegaskan bahwa pihaknya tetap mengacu pada prinsip praduga tak bersalah.

“Jadi, kita silakan saja ini kan proses dan kita harus tetap berpijak pada asas praduga tak bersalah. Jadi ada koreksi, ada ini silakan saja ya kan,” ungkap Yasonna.

“Kita menghormati proses-proses seperti itu pada saat yang sama kita juga menghargai asas praduga tak bersalah,” imbuh Yasonna.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain