Ichsanuddin Noorsy (Foto: Aktual)

Jakarta, Aktual.com – Maraknya aksi teror yang terjadi belakangan ini, ditenggarai akibat dari sistem sosial, ekonomi dan politik yang berorientasi pada paham liberal. Pengamat politik Ichsanuddin Noorsy mengatakan, masalah terorisme tidak akan selesai dengan menangkap para pelaku atau sel-sel terorisme saja.

Menurutnya, liberalisme yang telah menduduki segala bidang di Indonesia adalah sumber permasalahan yang mengakibatkan maraknya aksi terorisme belakangan ini. Ia pun menyoroti posisi kepolisian yang dikatakan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.

“Kalau basisnya demokrasi korporasi sekarang jangan-jangan yang dilindungi adalah mereka yang punya kekuatan korporasi, korporatisme istilahnya. Jadi korporatisme ketemu dengan polisiisme,” ungkap Noorsy ketika dihubungi Aktual.com di Jakarta, Rabu (5/7).

Noorsy mengatakan bahwa hal yang menakutkan dalam era reformasi seperti sekarang ini bukanlah terorisme, melainkan proporsi berlebih pada paham liberalisme di segala bidang. Terorisme, disebutnya hanya merupakan salah satu ornamen yang digunakan penguasa untuk mengarahkan pendapat umum.

Ia pun menyoroti maraknya aksi teror yang disebutnya sebagai aksi dengan momentum yang tidak tepat. Pasalnya, jika memang pihak kepolisian dapat mencegah aksi teror pada saat jutaan umat Islam yang berkumpul di Jakarta pada Aksi Bela Islam 411, 212 dan unjuk rasa lainnya yang berkaitan dengan kasus penistaan agama, sangat ironis jika pihak kepolisian tidak dapat menangkal aksi teror yang berlangsung di saat kondisi sedang ‘cair’.

Ia pun menduga maraknya aksi teror yang terjadi belakangan ini hanya permainan pihak intelijen, yang ingin membangun opini bahwa umat Islam adalah kelompok yang tidak cinta damai. Terlebih, dalam beberapa waktu belakangan terdapat kasus kriminalisasi yang menimpa ulama dan beberapa aktivis islam.

“Tapi kenapa sekarang jadi banyak teror? Jadi siapa yang diteror, polisi atau islam yang diteror?” katanya.

“Pertanyaan besarnya adalah, sebenarnya yang ingin dibangun bangsa ini lewat sistem demokrasi liberalnnya, model kedamaian, ketenteraman, musyawarah mufakat atau kerusuhan, saling menghantam? Ini pertannyaannya bukan hanya untuk polisi, tapi juga menyangkut peranan polisi yang katanya mengayomi dan melindungi masyarakat,” jelasnya panjang lebar.

Jika memang demikian adanya, Noorsy pun beranggapan bahwa pihak kepolisian hanyalah sebuah bidak dalam permainan catur demokrasi Indonesia. Baginya, masalah terorisme nantinya hanya akan menjadi penyambung kepentingan penguasa belaka yang ironisnya justru meneror rakyatnya sendiri.

Dengan demikian, rezim penguasa yang merupakan hasil dari demokrasi korporasi yang justru memecah belah rakyat dengan mengkambinghitamkan Islam.

“Artinya begini, kalau kita membangun sistem demokrasi dan ekonomi korporasi yang memecah belah, artinya kita sedang mengkhianati para pendiri republik ini. Dan ini bukan sekedar persoalan Tito yang begitu, ini adalah lebih luas dari cuma sekedar masalah kepolisian,” tegasnya.

Dampak buruk dari demokrasi liberal, lanjutnya, tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Menurutnya, di negara-negara barat yang berlandaskan demokrasi liberal pun memiliki masalahnya tersendiri.

“Saya ambil contoh Amerika, kalau kita baca Guardian atau ABC News, maka setiap hari terjadi peristiwa warga sipil melawan polisi. Artinya, demokrasi liberal itu sesungguhnya melahirkan situasi yang tidak menenangkan dan tidak menenteramkan,” sebutnya.

Sementara itu di tempat terpisah, pakar hukum Margarito Kamis menyatakan bahwa kehidupan masyarakat yang cenderung bercorak individualis disebut sebagai pembuka gerbang bagi sel-sel teroris di tengah masyarakat. Menurutnya, terorisme di Indonesia dapat ditangkal dengan melibatkan semua komponen bangsa, bukan hanya kepolisian saja.

Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), disebutnya, harus memaksimalkan peran pemerintah daerah hingga tingkat RT dan RW untuk menangkal adanya sel-sel teroris di tengah masyarakat. Dengan demikian, negara melalui pemerintah tingkat desa atau kelurahan, dapat memastikan bahwa setiap lingkungan aman dan nyaman.

“Peran yang dimainkan kemendagri adalah memfungsikan pemerintah daerah sampai ke aparatur desa untuk memastikan bahwa lingkungan itu aman dan nyaman. Sehingga siapa saja yang masuk ke dalam lingkungan itu diketahui semua orang. Saya kira kalau itu dijalankan pemerintahan sekarang, ini bisa menanggulangi terror,” jelasnya.

Dengan demikian, hal itu juga sekaligus menanamkan nilai dan semangat gotong royong yang tengah terkikis dalam kehidupan masyarakat. Ia pun mengkritik pemerintah yang hanya menggembar-gemborkan Pancasila, tapi justru tidak dibarengi dengan tindakan konkret untuk hal yang berbau gotong royong.

“Hanya dengan cara itu, gotong royong akan menciptakan semangat kolektivitas akan banyak hal Itu luar biasa dan sayangnya sedang terkikis sekarang ini. Pemerintah hanya banyak bicara saja soal gotong royong, tapi daam kenyataannya individual kita ini,” pungkasnya.

 

Laporan Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh: