Jakarta, Aktual.com – Fenomena perang hastag di media sosial jelang Pemilu serentak 2019 tidak dapat dielakan. Mereka yang mendukung akan adanya perubahan kepemimpinan nasional alias bukan Joko Widodo kembali, maka dapat diidentifikasi masuk dalam kelompok dengan mengusung #2019GantiPresiden. Sementara yang mendukung kepemimpinan kembali mantan gubernur DKI Jakarta tersebut, masuk pada golongan yang mengusung #2019TetapJokowi.
Kedua kelompok tersebut terus melakukan upaya dalam rangka menggiring opini masyarakat, dengan harapan dapat memberikan efek signifikan dalam pemilihan presiden nanti.
Mungkin kian masifnya gerakan #2019GantiPresiden sadar atau tidak, justru karena pernyataan Presiden Jokowi yang menanggapi aksi tagar #2019GantiPresiden malah menjadi semakin diketahui publik secara luas.
Respon presiden itu disampaikannya saat menghadiri acara Konvensi Relawan Nasional Galang Kamajuan 2018, di Ballroom Puri Begawan, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (7/4).
“Sekarang isunya ganti lagi, isu kaus. #GantiPresiden2019 pakai kaus. Masak kaus bisa ganti presiden? Yang bisa ganti presiden itu rakyat,” begitu respon Jokowi sembari melepaskan tawa khasnya ketika itu.
Namun seperti ‘Gayung Bersambut’, tidak lama setelah adanya pernyataan petugas partai dari PDIP yang sering kali diingatkan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri itu. Sejumlah relawan pendukung Jokowi pun mengambil langkah yang dinilai sebagai bentuk counter terhadap aksi #2019GantiPresiden.
Hal itu sebagaimana diakui Koordinator Gerakan #2019TetapJokowi, Immanuel Ebenezer yang mengatakan dideklarasikan hastagenya tersebut sebagai salah satu upaya dalam rangka menandingi isu yang dimainkan dari kubu partai di luar pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, niatan itu akhirnya diwujudkan tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan para pendukung #2019GantiPresiden, yakni dengan menggunakan media kaus maupun pernak-pernik lainnya.
Lalu, kenapa Presiden Jokowi harus menanggapi gerakan kaus bertagar #2019GantiPresiden, bila diyakininya tidak akan memberikan pengaruh di masyarakat bahkan sampai dengan mengganti presiden?
Ada yang menilai, apa yang disampaikan presiden sebagai bentuk kepanikan atas gerakan yang dipopulerkan oleh politikus PKS Mardani Ali Sera itu. Jika kemudian kembali menengok ke belakang, pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2012, ketika Jokowi berpasangan dengan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, tidak luput dari perhatian publik.
Terlebih, ketika keduanya menentukan kemeja kotak-kotak sebagai identitas diri atau ‘zirah’ yang kemudian menjadi viral di media sosial dan berubah menjadi gerakan pendukung pasangan tersebut. Meski ketika dalam proses pemilihan yang diikuti empat pasangan calon, membuat Jokowi harus ikut dalam putaran kedua yang berakhir pada kemenangannya dengan perolehan suara 53,82 persen dibandingkan pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Bahkan, di Pilpres 2014, Jokowi masih menggunakan tema kotak-kotak sebagai alat kampanye.
Bahkan, sikap presiden yang memberikan tanggapan disambut baik partai oposisi atau di luar pemerintahan kabinet kerja Jokowi. Tanggapannya, tentu sangat sederhana bahwa pesan gerakan tagar yang berawal di media sosial dan menjadi suatu gerakan sudah diterima dengan baik.
Demikian seperti yang disampaikan Sekertaris Jenderal (Sekjen) DPP PKS Mardani Ali Sera, jika pesan dari gerakan ini mengena kepada presiden. “Karena Pak Jokowi sudah kasih komen. Tanda gerakan ini jadi ‘sesuatu’,” ucap Mardani.
Siapa yang Lebih Masif?
Halaman Selanjutnya…
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang