Ribuan santri bersama ulama dan pimpinan dayah se-Aceh membentangkan poster dan spanduk menuju kantor Gubernur Aceh usai menggelar zikir di Makam Ulama Besar, Syiah Kuala, Banda Aceh, Kamis (10/9). Mereka menolak paham Wahabi-Syiah di daerah itu dan mendesak Gubernur Aceh untuk melarang penyebaran paham tersebut. ANTARA FOTO/Ampelsa/15

Surabaya, Aktual.com — Kirab Hari Santri Nasional (KHSN) sudah dimulai dari Tugu Pahlawan (Surabaya) pada 18 Oktober 2015 hingga menuju Tugu Proklamasi (Jakarta) pada 22 Oktober 2015.

Perjalanan kirab selama empat hari itu akan melintasi 18 titik “bersejarah” di pantai utara (pantura) Jawa, diantaranya makam Sunan Bonang (Tuban/Jatim), dan makam Raden Patah (Jateng).

Selain itu, makam Panglima Laskar Hizbullah Kiai Abbas (Cirebon/Jabar), makam pengawal pribadi Hadratussyaih KH Hasyim Asy’ari, Kiai Sholihin (Babakan/Jabar), dan makam Sunan Gunung Jati.

Peserta KHSN yang menaiki belasan mobil dan bus mini itu juga akan bersilaturrahmi dengan sejumlah kiai, diantaranya KH Mustofa Bisri (Gus Mus), KH Dimyathi Rois, Habib Lutfi bin Yahya, KH Makhtum Hannan, dan KH Musthofa Aqil.

Dengan begitu, Hari Santri Nasional (HSN) bisa saja dimaknai sebagai hari milik santri. Bisa juga, Hari Santri dimaknai sebagai hari khusus santri untuk memperjelas adanya kaum santri dan kaum abangan.

“Adanya penetapan Hari Santri seolah menegaskan bahwa ada golongan atau kelompok non-santri, sehingga mengganggu pesaudaraan umat Islam,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, Hari Santri Nasional justru akan mengukuhkan kategorisasi di kalangan umat Islam yakni santri (kategori dalam genre umat Islam yang tingkat keberagamaannya lebih terpenuhi) dan abangan.

“Karena itu, kami tidak sependapat dengan penetapan Hari Santri Nasional itu. Hari-hari besar keagamaan yang ada dan disepakati bersama di kalangan umat Islam seperti 1 Muharam, Maulid Nabi, Isra Mikraj, dan seterusnya sudah cukup,” katanya.

Namun, makna “kategorisasi” itu justru menyimpang dari makna dibalik penetapan Hari Santri Nasional yang dimulai tahun 2015 itu, karena makna santri dalam konteks Hari Santri adalah masyarakat yang cinta Tanah Air.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan bahwa Hari Santri adalah hari dari resolusi ulama bahwa cinta Tanah Air atau membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah wajib.

“Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari dan para ulama telah menetapkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang intinya adalah fatwa tentang membela Tanah Air,” katanya dalam pelepasan Kirab Hari Santri Nasional (KHSN) dari pelataran Tugu Pahlawan Surabaya (18/10).

Menurut dia, fatwa Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dkk adalah membela Tanah Air merupakan “Jihad fi-Sabilillah” yang hukumnya “fardhu ain” (kewajiban individual). Jadi, santri dalam konteks Hari Santri adalah jiwa patriot.

Apalagi, Hari Santri itu bukan berasal dari gagasan kalangan NU, melainkan murni dari gagasan Presiden Joko Widodo saat kampanye Pilpres 2014 di Malang bahwa dirinya akan menetapkan Hari Santri pada 1 Muharram jika dipercaya menjadi Presiden.

“Setelah terpilih, Presiden Jokowi mengulangi gagasannya itu pada saat menghadiri Munas NU, namun saya katakan bahwa Hari Santri itu sebaiknya bukan tanggal 1 Muharram, karena 1 Muharram adalah Tahun Baru Islam milik Muslim se-dunia,” katanya.

“Spirit” Santri Akhirnya, PBNU mengusulkan Hari Santri ditetapkan pada tanggal 22 Oktober terkait dengan fatwa bela negara dalam Resolusi Jihad, kemudian Presiden Jokowi meminta Menteri Agama untuk membahas bersama PBNU.

“Akhirnya, kami mengadakan seminar hingga diputuskan tanggal 22 Oktober itu,” kata Said Aqil dalam acara pelepasan kirab yang juga dihadiri Wakil Ketua Umum PBNU H Slamet Effendy Yusuf dan Sekjen PBNU H Helmy Faishal Zain.

Namun, KHSN bukanlah riya’ (pamer), melainkan penghormatan kepada Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari dan para ulama lainnya yang menetapkan Resolusi Jihad yang berisi bahwa membela Tanah Air itu fardhu ain (kewajiban individual).

Menurut dia, Resolusi Jihad itulah yang melahirkan “intifadhah” (pengeroyokan atau penyerangan secara massal) oleh masyarakat terhadap pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

“Resolusi Jihad itu sendiri lahir atas permintaan Presiden Soekarno yang mengirim utusan ke Pesantren Tebuireng untuk meminta Kiai Hasyim Asy’ari bersama para ulama menggerakkan masyarakat untuk melawan pasukan NICA yang tidak mau mengakui Proklamasi Kemerdekaan,” katanya.

Akhirnya, KH Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar PBNU mengajak para ulama berkumpul dan bermusyawarah di Kantor PBNU yang sekarang merupakan Kantor PCNU di Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, sehingga lahirlah resolusi.

“Jadi, Pertempuran 10 November 1945 yang akhirnya diperingati sebagai Hari Pahlawan itu merupakan perlawanan tanpa komando, melainkan bermodal fatwa Jihad fi-Sabilillah,” katanya.

Namun, perlawanan itu di lapangan dipimpin secara teknis oleh KH Wahab Chasbullah sebagai pelaksana yang bermarkas di Waru (Sidoarjo) dengan dukungan KH Masykur (Laskar Sabilillah) dari Malang dan KH Abbas (Laskar Hizbullah) dari Cirebon.

“Hasilnya, rakyat menang, bahkan pimpinan Tentara Sekutu Brigjen Mallaby pun tewas. Dalam film ‘Sang Kiai’ disebutkan bahwa Brigjen Mallaby tewas karena mobilnya dilempari bom oleh santri Tebuireng bernama Harun,” katanya.

Walhasil, tanpa KH Hasyim Asy’ari dan para santri, maka Resolusi Jihad takkan pernah ada. Tanpa Resolusi Jihad, maka Pertempuran 10 November takkan terjadi. Tanpa Pertempuran 10 November, maka kemerdekaan takkan pernah tercapai.

Senada dengan itu, Ketua PWNU Jatim KH Mutawakkil Alallah menegaskan bahwa ruh dari Hari Santri adalah fatwa ulama tentang Resolusi Jihad yang melahirkan spirit heroisme.

“Jadi, ruh dari Hari Santri adalah cinta Tanah Air. Islam sendiri mengajarkan cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman,” katanya.

Ke depan, Hari Santri hendaknya dimaknai sebagai hari untuk mengobarkan patriotisme dalam melawan penjajahan dalam bentuk apapun, dan juga merupakan hari (kiprah santri dalam) merawat kemajemukan.

Jadi, Hari Santri bukan hanya milik santri, melainkan hari yang mengambil “spirit” santri yakni cinta Tanah Air (untuk melawan “penjajah” kebodohan melalui pendidikan, “penjajah” kemiskinan melalui ekonomi atau UMKM, dan “penjajah” ideologi melalui anti-radikalisme, komunisme, terorisme, dan atheisme).

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan