Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyampaikan pidato saat peluncuran Gerakan Tertib dan Disiplin Nasional di Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (29/11). Kementerian Dalam Negeri meluncurkan program tersebut untuk mendorong Indonesia menjadi bangsa yang disiplin. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/kye/15

Jakarta, Aktual.com — Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan hak diskresi yang dimiliki kepala daerah diatur sedemikian rupa oleh Undang-Undang. Kepala daerah dalam mengambil sebuah kebijakan atau keputusan politik pembangunan semuanya diatur oleh Undang-Undang.

Ia menekankan demikian sehubungan dengan penggunaan hak diskresi oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam memberikan izin reklamasi di Teluk Jakarta kepada pengembang. Ahok menentukan besaran kontribusi tambahan sebesar 15 persen dikali nilai jual objek dan lahan yang dijual.

Tjahjo menganalogikan hak diskresi yang dilakukan Ahok dengan kebijakan minum kopi di suatu daerah. Apabila kebijakan minum kopi tidak diatur oleh Undang-Undang sehingga tidak ada payung hukumnya, karena itu kepala daerah diperbolehkan mengeluarkan kebijakan minum kopi.

“Sepanjang tidak diatur oleh Undang-Undang, belum ada payung hukumnya, cantolan hukumnya, karena tidak ada aturan boleh seorang Gubernur, Bupati, Walikota mengeluarkan kebijakan boleh minum kopi,” terangnya di Kantor Kemendagri, Senin (23/5).

Meski begitu, mantan Sekjen PDI Perjuangan itu menekankan, apabila penggunaan hak diskresi oleh kepala daerah dikemudian hari menimbulkan permasalahan maka perlu dicermati dengan baik oleh aparat penegak hukum.

“Aparat hukum tidak melihat dari sisi diskresinya, aparat hukum itu melihat ini ada proses gratifikasi atau tidak. Ada proses pengambilan keuntungan atau tidak,” jelas Tjahjo.

Berbeda dengan Mendagri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo sebelumnya mengatakan bahwa birokrat tidak diperbolehkan bertindak tanpa ada landasan hukum yang jelas. Apabila belum diatur di tingkat pusat, maka kepala daerah diperkenankan membuat Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur.

“Kalau tidak ada peraturannya ada tanda tanya besar dong. Peraturannya mestinya disiapkan dulu. Jangan kemudian kita kalau sebagai birokrat bertindak sesuatu tanpa ada acuan peraturan perundang-undangannya. Itu kan tidak boleh,” kata Agus dikantornya, Jumat (20/5).

Artikel ini ditulis oleh: