Perjanjian Preman (ilustrasi/aktual.com)
Perjanjian Preman (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com — ‘Perjanjian preman’ antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan beberapa perusahaan pengembang reklamasi telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Pasalnya, perjanjian yang memuat implementasi kontribusi tambahan pengembang reklamasi itu dibuat tanpa adanya dasar hukum.

Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Choirul Huda menilai Ahok telah melanggar salah satu Pasal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, yang diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Bisa masuk dalam korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf e 20 Tahun 2001, karena belum ada dasar yang cukup, berarti kan menyalahgunakan kekuasaan. Memaksa orang untuk bayar,” papar Choirul, saat diminta menanggapi lewat pesan singkatnya, Selasa (17/5).

Lebih lanjut dijelaskan Choirul, perjanjian yang disepakati Pemprov dan pengembang tentunya bukan tanpa alasan. Begitu pula alasan jelas pengembang yang menyetujui adanya perjanjian yang tanpa ada dasar hukumnya.

“Nggak mungkin dia (pengembang) sukarela untuk bayar itu. Mereka kan mau bayar karena butuh izin reklamasi, jadi pada dasarnya itu pemerasan dalam jabatan atau pungutan liar,” terangnya.

Berdasarkan data yang didapat Aktual.com, ada empat pengembang yang bersepakat untuk membayarkan kontribusi tambahan kepada Pemprov DKI. Padahal, Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta, yang mengikat kewajiban itu belum disahkan oleh DPRD DKI.

Keempat pengembang ini adalah PT Muara Wisesa Samudra dan PT Jaladri Kartika Pakci selaku anak perusahaan PT Agung Podomoro Land, PT Jakarta Propertindo serta PT Taman Harapan Indah. Para pengembang ini, yang kemudian mendapatkan izin pelaksanaan reklamasi dari Ahok.

Ahok sendiri sudah membenarkan adanya perjanjian itu. Menurutnya, kesepakatan itu dibuat dengan berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Padahal, dalam aturan tersebut tidak dijelaskan mengenai kontribusi tambahan.

“Kaya perjanjian preman kaya gitu juga,” kata Ahok. Jadi begini, di situ ada Keppres menyebutkan, ada tiga sebetulnya. Jadi landasannya dari situ. Satu, ada tambahan kontribusi. Ada kewajiban, kalau kewajiban kan fasum fasos. Ada kontribusi lima persen. Di situ katakanlah ada kontribusi tambahan, tapi enggak jelas apa. Ya saya manfaatkan dong (untuk dibikinkan perjanjian sendiri),” tutur Ahok, di Balaik Kota DKI Jakarta, Jumat (13/5).

Kata Ahok, khusus Podomoro sudah mengeluarkan uang Rp200 miliar. Namun, itu belum sepenuhnya dari nilai kontribusi tambahan yang semestinya.

“Agung Podomoro sudah serahkan berapa? Dia sudah serahkan pada kami Rp200-an miliar. Yang sudah dikerjain jalan inspeksi, rusun, tanggul, pompa, dia sudah kerjain,” papar dia.

Menurut Ahok, uang yang sudah dikeluarkan oleh beberapa pengembang itu dilakukan sembari menunggu Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta disahkan oleh DPRD DKI.

Patut diketahui, pemberian izin ini dilakukan setelah mereka membayarkan kontribusi tambahan kepada Pemprov DKI. Perjanjian mengenai pembayaran kontribusi tambahan disepakati oleh Pemprov dan Pengembang pada 18 Maret 2014.

Artikel ini ditulis oleh: