#Membantah Argumentasi Pemerintah dan Pertamina

Argumentasi Pemerintah dan Pertamina dibantah oleh Mantan Sekretaris BUMN, Said Didu. Menurutnya logika strategi korporasi melakukan sharedown hulu migas untuk mengurangi resiko bisnis, dapat dibenarkan sebelum surat dari kementerian BUMN keluar. Dalam artian bahwa tujuan surat itu secara jelas menyatakan sharedown untuk menyelamatkan kondisi keuangan Pertamina yang tengah dalam masalah.

“Logika share down untuk berbagi resiko itu benar sebelum surat itu muncul. Karena surat itu muncul menyatakan untuk menyehatkan Pertamina bukan menghindari resiko bisnis hulu migas. Jadi tutuplah alasan untuk mengurangi resiko karena suratnya dengan jelas menyatakan; dalam rangka penyelamatan keuangan,” kata Didu.

Selanjutnya Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menyatakan bahwa memburuknya kondisi keuangan Pertamina tak bisa dinafikan akibat beban penugasan dari pemerintah secara tidak proporsional. Dia menjelaskan secara laba bersih dan pendapatan memang masih relatif baik, tapi realisasi investasi Pertamina terus menurun dari tahun ke tahun.

Diketahui neraca pendapatan pertamina pada tahun 2013 sebesar USD 71.17 miliar, tahun selanjutnya mines 2 persen ke angka USD 70.00 miliar, lalu berkurang lagi 40 persen menjadi USD 41.76 miliar. Selanjutnya tahun 2016 berkurang lagi sebesar 13 persen ke angka USD 36.49 miliar dan pembukuan tahun 2017 sedikit meningkat yakni plus 18 persen ke angka USD 42.96 miliar.

Lalu laba bersih Pertamina tercatat sejak 2013 sebesar USD 3.00 miliar, tahun berikutnya turun drastis USD 1.45 miliar. Tahun 2015 kembali turun USD 1.42 miliar, 2016 naik ke angka USD 3.15 miliar dan 2017 turun kembali ke angka USD 2.54 miliar.

Untuk investasi, dalam 5 tahun terakhir mengalami penurunan secara terus menerus. Pada 2013 pertamina masih mampu investasi USD 1.783 juta, kemudian turun USD1.701 juta, turun lagi USD 1.376 jurta. Pada 2016 dan 2017 juga menurun di angka USD 500 Juta dan USD 230 juta.

Neraca investasi Pertamina

Adapun faktor yang mempengaruhi memburuknya keuangan pertamina diyakini akibat program BBM Satu harga dan BBM Khusus Penugasan (Premium) di bawah harga formula atau harga yang semestinya dijual. Hingga saat ini jumlah kerugian Pertamina akibat menjalankan program penugasan pemerintah belum ada angka pasti atau masih simpang siur, namun Marwan mentaksir angka itu berada dikisaran Rp. 24 triliun.

Sebagaimana diketahui program BBM Satu Harga mengharuskan Badan Usaha membangun fasilitas penyalur sebanyak 150 titik di kawasan Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) yang tersebar di seluruh Indonesia. Program ini dicanangkan hingga 2019 yang mana tahun 2017 sebanyak 54 titik, 2018 sebanyak 67 titik dan 2019 terdapat 29 titik. Bandan usaha tidak hanya dibebankan biaya pembangunan fasilitas namun juga tambahan biaya distribusi ke wilayah 3T tersebut.

Lokasi BBM Satu Harga

Lalu penugasan penjualan BBM jenis Premium. Penugasan ini dilatarbelakangi pencabutan subsidi BBM yang dilakukan oleh pemerintah sejak 2014 melalui Perpres 191. Namun begitu disadari, pemerintah tidak boleh melepaskan komoditas strategis mengikuti mekanisme pasar atau sitem libral. Karenanya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari fluktuasi pasar, pemerintah menugaskan kepada Pertamina agar tetap menyalurkan BBM khusus penugasan (Premium) dengan ketetapan harga berada di tangan pemerintah.

Baca juga:http://www.aktual.com/jokowi-serang-sby-soal-subsidi-apa-manfaatnya-bagi-rakyat/

Hal inilah awal dari kerancuan kebijakan. Di satu sisi pemerintah mencabut subsidi yang notabenenya melalui pos APBN sebagaimana mekanisme tata kelola pemerintahan, kemudian malah Publik service obligation (PSO) atau pelayanan terhadap rakyat yang harusnya menjadi kewajiban pemerintah, ditugaskan kepada Pertamina.

Selanjutnya

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta