Jakarta, Aktual.com – Dalam rangka mengantisipasi perlambatan ekonomi akibat pandemi covid-19, pemerintah dan DPR mewacanakan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau PERPPU tentang Reformasi Sistem Keuangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan krisis saat ini mengharuskan pemerintah melakukan extraordinary, termasuk dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga, PERPPU terkait stabilitias sistem keuangan diharapkan bisa merespons dampak ke depan yang berada di luar prediksi. Ia menambahkan, PERPPU ini nantinya akan mengakomodir situasi krisis yang lebih mendalam.
“Kebijakan ekonomi makro yang efektif membutuhkan koordinasi kebijakan moneter dan fiskal yang kuat untuk mendorong perekonomian, menciptakan lapangan kerja, dan dapat sejalan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga prinsip independensi Bank Sentral dan Prudential fiskal terkelola dengan baik melalui penguatan micro dan macro prudential dalam satu atap Bank Sentral,” katanya, dalam konferensi pers APBN Kita, akhir Agustus lalu.
Anggota Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng mendukung rencana pemerintah menerbitkan PERPPU tersebut. Politisi partai Golkar ini menilai bahwa BI, OJK, dan LPS selama ini masih melakukan kerja-kerja normal, yang tidak memacu kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi darurat.
Selain itu, ego sektoral dari lembaga-lembaga tersebut dalam bekerja masih di kedepankan, akibatnya, apa yang diputuskan presiden sering tidak dilakukan karena merasa memiliki independensi.
“Penerbitan PERPPU kita dukung dan tepat. Sebaiknya segera dikeluarkan. Saya usulkan nanti harus ada satu pasal yang mengatakan LPS, OJK dan BI masuk dalam rumpun pemerintah. Itu bukan berarti mereka tidak independen. Tetapi ada yang perlu mereka dengarkan dari Presiden selaku Kepala Negara,” kata Mekeng lewat keterangannya.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Anggota Komisi XI lainnya, Hendrawan Supratikno. Ia mengatakan PERPPU ini dikhawatirkan dapat menganggu sistem keuangan nasional. Sebab dengan adanya perubahan yang signifikan pada BI, hal itu akan menurunkan kepercayaan masyarakat.
Selain itu, tambahnya, perlu ada kajian model integrasi pengawasan dan kajian mendalam untuk menentukan arsitektur kelembagaan sektor keuangan saat ini. Ia juga meminta supaya pemerintah tidak tergesa-gesa mengeluarkan PERPPU.
“Nanti akan ada guncangan pasar. Lalu, fokus dulu hadapi Covid-19, dan kami khawatir recovery nasional cepat turun dan cepat pulih. Kalau pemerintah sebentar-sebentar keluarkan Perppu, ini jadi sinyal sudah dalam kategori berkelanjutan, memaksa keluarkan Perppu. Masa sih, ingin dipersepsikan abnormal terus,” ujar politisi PDI-P ini akhir Agustus lalu.
Mengamputasi Independensi
Sementara itu, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menilai PERPPU Reformasi Keuangan dan RUU BI berpotensi mengamputasi independensi bank sentral secara permanen. Meski demikian, ia menyebut, peran BI sudah lebih dulu pincang pincang dengan adanya UU No 2 tahun 2020 karena BI tidak lagi independen dengan skema berbagi beban (burden sharing).
“Kini, perppu dan revisi UU BI akan menyebabkan independensi tidak hanya pincang, namun berisiko menjadi teramputasi secara permanen dari Bank Indonesia,” ujar Fadhil.
Dari sisi pengawasan, Ekonom Senior CORE Indonesia, Hendri Saparini mengatakan tanpa adanya PERPPU ini pun pengawasan sistem keuangan sudah dijalankan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berdasarkan Undang-Undang No 9 tahun 2016 yang mengatur tata cara penyelamatan sistem keuangan. Sementara pemindahan wewenang pengawasan perbankan kembali ke BI juga dinilai belum didasari pada alasan yang kuat.
“Jika memang alasannya adalah mendorong proses pemulihan ekonomi, maka alasan ini tidak tepat mengingat OJK telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi. Melalui Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2002 OJK memberikan stimulus bagi perbankan di tengah pandemi seperti sekarang,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi aktual.com beberapa waktu lalu.
“Dengan belum jelasnya latar belakang pembentukan PERPPU reformasi sistem keuangan, pemerintah, DPR, dan pihak terkait, perlu menahan diri untuk tidak terburu-buru meloloskan PERPPU ini,” tambahnya.
Staf Ahli Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ryan Kiryanto menuturkan jika PERPPU tersebut disahkan, maka pengawasan di sektor jasa keuangan berpotensi tidak akan selaras. Sebab ia menilai pengawasan dan kebijakan selama ini berbeda.
“Mungkin potensi miskomunikasi, miskoordinasi, bahkan disharmonisasi itu berpotensi terjadi,” ungkapnya. (AH/ AM)
Artikel ini ditulis oleh:
A. Hilmi