Seorang pejalan kaki melintasi papan sosialisasi pembayaran pajak secara online di Jakarta, Selasa (1/3). Direktorat Jenderal Pajak membuat peta zona potensial pajak untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp1.360,1 triliun pada 2016. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama/16

Jakarta, Aktual.com – Koordinator Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah meminta pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk tegas mengejar pajak perusahaan-perusahaan tambang.

Bahkan, pemerintah juga diminta tegas untuk mengejar pajak-pajak yang terutang sebelumnya yang nilainya tak sedikit.

“Saat ini, berdasar data KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebanyak 70 persen pemegang IUP (izin usaha pertambangan) tak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Ini masalah serius,” tandas Maryati di Jakarta, Selasa (13/12).

Kondisi ini terjadi, kata dia, salah satu masalahnya karena data base perusahaan tambang itu tak terintegrasi antara data di Kemen ESDM dengan pihak DJP.

Dengan kondisi tersebut, ujar Maryati, membuat potensi kerugian negara, berdasar data KPK, mencapai Rp1.000 triliun.

“Itu potensi kerugian negara karena ngemplang pajaknya. Tapi kalau dari catatan kami, selama 2011-2014, yang sudah pasti adalah utang pajak perusahaan tambang. Ada sekitar Rp 35 triliun piutang pajak dan Rp25 triliun piutang dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak),” ungkap dia.

Kondisi ini terjadi, kata dia, karena sistem pengawaannya itu lema, baik dari DJP maupun dari Kemen ESDM.

“Makanya sekarang harus dipastikan, perusahaan tambang itu izinnya harus legal. Dan lucu juga jika ada perusahaan yang tak punya NPWP,” papar Maryati.

Dia menegaskan, sektor pertambangan memang harganya sangat volatil seiring dengan perkembangan harga komoditas. Dalam kondisi harga komodutas yang anjlok, memang bisa dimaklumi.

Namun demikian, kata dia, potensi tax avoidance atau penghindaran pajak perusahaan tambang cukup tinggi. Kondisi ini yang harus dikejar oleh pemerintah.

Dia mencontohkan, dalam kasus korupsi pajak oleh Gayus Tambunan, ada nama Adaro yang disebut terlibat dalam penghindaran pajak.

“Tapi sampai sekarang tak terselesaikan. Itu kan bisa jadi modus-modusnya. Dan itu yang dihadapi olrh aparat pajak, seperti yang terjadi di Kalimantan, banyak ancaman terhadap petugas pajak dari perusahaan pertambangan,” tandas Maryati.

Baginya, selama ini perusahaan tambang kecil, menengah, dan besar sama-sama punya motif untuk mengelabuhi pajak.

“Jadi ada prantik transfer pricing juga. Mereka mau membayar royalti tinggi, tapi bayar PPh Badannya malah rendah. Itu akal-akalan mereka,” pungkasnya.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka