SAUDARAKU, dalam tradisi besar umat manusia, kita temukan istilah kota (polis, civic, madina) dalam konotasi positif : keberadaban (civility), kemuliaan (nobility) dan keteraturan (order). Penjaga kehidupan kota itu sendiri bernama ‘polisi’ (police), yang masih satu rumpun dengan kata ‘poli’ (polite) yang berarti tertib sosial – santun berkeadaban.
Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab. ‘Menjadi manusia beradab’, kata Fernand Braudel, ‘berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih tertib – taat hukum (civil) dan ramah (sociable)’. Max Weber mendefinisikan kota sebagai ‘suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional’.
Mendekati konstruksi ideal tentang kota, Jakarta pada mulanya dibangun dengan bayangan seperti itu. Modal awalnya adalah tempat yang lapang dan molek. ‘Segala hal di Batavia’ puji WA van Rees (1881), ‘lapang, terbuka, dan elegan’. Tiga abad sebelumnya, Tomé Pires melukiskan tempat ini sebagai ‘sebuah pelabuhan yang indah, salah satu yang terbaik di Jawa’.
Pada 1808, Herman Willem Daendels ditunjuk Pemerintahan Napoleon menjadi Gubernur Jenderal dengan misi ‘Menjaga Batavia dari serangan Inggris’. Ia tinggalkan Batavia tua di dataran rendah pelabuhan lantas merancang kota Batavia baru di dataran lebih tinggi bagian selatan. Rancangan kota ini dikerjakan secara sungguh-sungguh, sehingga dinamai Weltevreden (Menteng), artinya ‘sungguh memuaskan’ atau ‘tertata baik’.
Dengan penataan yang baik dan memuaskan, Batavia sebagai the Queen of the East menjadi Mooi Indie berjiwa kosmopolitan. Meski harus diakui, di sana ada masalah yang imbasnya masih kita warisi. Masalah utamanya diisyaratkan Clifford Geertz dalam The Social History of an Indonesian Town (1965). Dalam desain kota kolonial, ada kesenjangan antara sektor komersial padat modal ditangan orang asing dan sektor subsisten padat karya ditangan penduduk lokal.
Di sini, terjadi segregasi secara radikal diantara sektor ekonomi, sosial, dan budaya modern dan tradisional. Implikasinya, gejala urbanisasi di Indonesia bukan proses konversi dari desa ke kota melalui perubahan secara gradual dari nilai dan institusi yang ada.
Sifat kosmopolitanisme yang muncul bukan hasil pencanggihan tradisi parokial dari elemen-elemen utama dalam masyarakat setempat, tetapi merupakan intrusi aneka kelompok asing yang berwatak kosmopolitan ke dalam kepompong lokal. Dengan kata lain, gejala urbanisasi itu datang sebagai tekanan dari luar bukan berkembang secara organik dari dalam.
Akibatnya, kolonialisme berlalu dengan meninggalkan jejak fisik, tetapi tak mewariskan rasionalitas dan mentalitas kemodernannya. Di sana ada ruang hampa, karena tampilan luar modernitas kita tiru tanpa penguasaan sistem penalarannya. Dibawah gedung-gedung pencakar langit dan apartemen mewah, mentalitas udik bertahan, menjadikan kota bak hutan beton tanpa jiwa.
Dalam kota hampa seperti itu, pemerintah menyeret warganya untuk melakukan pemujaan terhadap budaya kedangkalan. Rasionalitas birokrasi diruntuhkan lemahnya sistem pelatihan dan perekrutan pegawai yang buruk.
Situasi ini diperparah oleh berimpitnya penguasaan birokrasi dengan kepentingan penguasa alat-alat produksi (kapitalis), yang menghancurkan perencanaan dan rancang-bangun perkotaan. Yang terwarisi dari kolonial hanya keburuknya, berupa kecenderungan diskriminatif dalam skala yang lebih parah. Meritokrasi dihancurkan oleh penurunan standar ekselensi dan kolusi.
Di sini, destruksi tidak disebabkan keberlebihan rasionalitas pencerahan dalam pembangunan, seperti dikeluhkan di Barat. Alih-alih, karena kurangnya asupan dan pertimbangan rasionalitas yang membuat mediokritas melanda semua lini kehidupan.
Banjir, kemacetan, polusi lingkungan, kriminalitas dan keburukan pelayanan publik Jakarta merupakan arus balik manajemen perkotaan yang memuja kedangkalan. Tanpa keberadaban dan penalaran, Jakarta segera berubah dari Queen of the East dalam imaji Belanda menjadi kota ‘heterogenik’ dalam gambaran Lewis Mumford, yang penuh ambiguitas, kekerasan, disintegrasi, anarki, dan tragedi.
Perkembangan ini sangat merisaukan mengingat kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara. Sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian dan pusat rujukan, Jakarta bisa diibaratkan sebagai pusat syaraf kehidupan nasional. Stroke yang menyerang Jakarta akan membawa kelumpuhan ke seluruh jaringan kehidupan.
Siapa pun yang berani menjadi calon Gubernur Jakarta harus memiliki prasyarat mental yang sepadan dengan masalah yang harus diatasi. Pemimpin dengan jejak rekam yang buruk, tak siap berkeringat dan hanya mencari untung untuk diri sendiri, bagaimana mungkin bisa mengatasi masalah dan melayani warganya.
Pilkada Jakarta bukanlah pertarungan mempertaruhkan gengsi primordialisme (etnis dan agama), tetapi pertarungan mempertaruhkan kewarasan dan kebaikan hidup bersama.
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)
Artikel ini ditulis oleh: