Pasca diumumkan dan didaftarkannya pasangan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden sebagai peserta kandidat pada pemilihan presiden 2019 tidak luput dari perhatian publik. Kedua pasangan calon (Paslon) pun dikulik dari berbagai arah, hingga keseriusannya dalam rangka mensejahterakan atau memperhatikan, bahkan upaya dalam memberikan harapan (Hope) kepada masyarakat Indonesia.
Ekonom Senior Indonesia, Rizal Ramli misalnya. Ia mengatakan soal dukungnnya kepada salah satu Paslon itu perkara gampang alias sangat mudah. Akan tetapi, yang terpenting, lanjut dia, rakyat dapat apa atas dukungan yang diberikan di Pilpres 2019 nanti.
Mantan anggota tim Panel ahli ekonomi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) itu menilai, setiap kali menghadapi pemilihan presiden atau pergantian kekuasaan, rakyat sering kali hanya sebagai pelengkap penderita atas kepentingan para elit politik di negeri ini.
Tidak hanya itu, pederitaan rakyat dalam kehidupannya pun akan berlanjut pasca presiden terpiih di lantik. Padahal, jabatan presiden maupun wakil presiden akan terus silih berganti, dan rakyat hanya akan terus tertipu terhadap janji manis masa kampanye saja.
Keberpihakan mereka kepada rakyat hanya sebatas jargon saat kampanye. Setelah berkuasa, tegas Rizal Ramli, mereka lupa dengan janji-janjinya. Penguasa hanya sibuk melayani para majikan yang menjadi bohirnya. Dengan kata lain, mereka akan sangat sibuk untuk membayar utang dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan para sponsor tapi merugikan negara dan rakyat Indonesia.
“Mohon maaf, saya menilai Capres/Cawapres yang bertarung di 2019 ini seperti tahu lawan tempe. Padahal rakyat maunya makan ikan, daging dan makan bergizi lainnya. Kalau ada Paslon yang bersedia memberi komitmen, bahwa mereka akan bekerja ekstra keras untuk menyejahterakan mayoritas rakyat, maka saya akan dukung secara all out,” kata Rizal Ramli.
Bagi Rizal Ramli, ukuran paling gampang dari komitme Paslon adalah, mereka mau meninggalkan ideologi neoliberalisme dalam membangun Indonesia. Pasalnya, fakta menunjukkan, mazhab neolib yang telah diterapkan selama puluhan tahun tidak bisa mengantarkan Indonesia menjadi negara yang maju dan rakyatnya sejahtera. Pembangunan yang berbasis utang hanya menimbulkan ketergantungan yang amat tinggi kepada negara-negara pember pinjaman tersebut.
“Saya banyak berkeliling ke daerah. Saya juga sering didatangi rakyat. Ada petani, petambak garam, pengusaha UMKM, mahasiswa, buruh, aktivis, bahkan ibu-ibu. Semuanya mengeluh hidup makin susah. Pertanyaan saya kepada mereka sederhana saja. Apakah dalam empat tahun ini hidup menjadi mudah. Apakah rakyat yakin 5-6 tahun ke depan hidup akan lebih mudah? Ternyata jawabnya kompak, tidak. Nah, kita harus ubah semua ini. Salah satu yang paling penting, tinggalkan neolib,” tukas Rizal Ramli.
Sampai pada dititik itu, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS), Edy Mulyadi menilai tamsil tahu versus tempe yang disebut Rizal Ramli benar adanya. Kedua Paslon nyaris tidak menawarkan menu baru. Kalau Jokowi diibaratkan tempe, maka yang dirasakan rakyat dalam empat tahun terakhir justru bak dipaksa makan tempe bongkrek.
Masih ingat tempe bongkrek? Tempe bongkrek terkenal di masa Orde Baru pada 1970an. Jenis tempe yang dibuat dari kacang kedelai dan ampas kelapa ini sangat populer di Jawa Tengah khususnya di daerah Banyumas.
Sayangnya, tempe ini seringkali menyebabkan keracunan karena terkontaminasi bakteri burkholderia galdioli yang menghasilkan racun berupa asam bongkrek dan toxoflavin. Berkali-kali rakyat di pedesaan tewas karena mengkonsumi. Karena sering menyebabkan korban jiwa, Pemerintah akhirnya melarang penjualan tempe jenis ini.
Nah, empat tahun di masa Jokowi rakyat banyak ‘keracunan tempe bongkrek’ karena beratnya beban hidup. Harga-harga melambung tinggi. Listrik, BBM, gas terus meloanjak harganya karena pengurangan subsidi. Porsi anggaran terbesar justru diutamakan untuk membayar utang. Lapangan kerja sulit didapat, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, dan seabreg kesulitan hidup lain.
Bagi kalangan Islam, ‘tempe bongkrek’ terasa lebih mematikan. Para habaib, ulama, dan ustadz banyak dikriminalisasi. Perlakuan dan penegakan hukum antara muslim dan nonmuslim terasa sangat timpang, dan sejumlah ketidakadilan lainnya yang ummat rasakan.
Ingatkan Kembali Visi Misi Pilpres 2014
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang