Koalisi yang dibangun Jokowi-Ma’ruf Amin mengatakan akan tetap melanjutkan lagi Nawacita sebagai program unggulan pemerintahan di bawah kekuasaan mantan gubernur DKI Jakarta tersebut. Bahkan, Nawacita merupakan proyek jangka panjang sebagai pedoman prioritas pemerintah dalam menjalankan kinerja.
Politisi PDI Perjuangan Alex Indra Lukman mengatakan, Nawacita merupakan proyek jangka panjang pemerintahan Joko Widodo. Menurut dia, PDI Perjuangan berencana kembali mengampanyekan program Nawacita dalam Pilpres 2019.
“Nawacita adalah program jangka panjang. Oleh karena itu kami sangat berkepentingan sekali Pak Jokowi ini untuk bisa memimpin dua periode,” kata Alex saat dihubungi, Rabu (11/7/2018).
Alex menuturkan program Nawacita Jokowi yang akan dilanjutkan adalah program yang saat ini masih berjalan. Salah satu contohnya adalah program tol laut.
Ia berpendapat, saat ini tol laut belum berjalan optimal, terutama dalam hal distribusi. Semenjak mulai berjalan, dia menilai distribusi barang dari daerah di wilayah timur belum sebanding dengan distribusi dari wilayah barat.
Sehingga, Alex khawatir harga barang di wilayah timur akan tetap tinggi di banding di pulau Jawa.
“Nah ini yang alasannya Pak Jokowi membangun Papua. Sehingga hasil sumber daya alam di Papua ada yang dibawa,” sebut dia. Selain tol laut, ia juga menyebut revolusi mental dalam Nawacita harus tetap berjalan. Menurutnya, revolusi mental tidak berhenti dalam satu periode meski sejumlah survey diklaim menyebut program tersebut berdampak positif.
Di sisi lain, Alex tidak memungkiri Nawacita bisa berubah nama. Perubahan, kata dia, bisa terjadi tergantung dari dinamika permasalahan bangsa ke depan.
Namun, dirinya mengingatkan kepada semua pihak jika Nawacita hanya sekedar khiasan dari jumlah program yang ditawarkan. Karenanya, Nawacita bisa juga berganti ketika program yang ditawarkan Jokowi di Pilpres 2019 bertambah atau berkurang. “Judul visi misinya apakah Nawacita atau tidak itu nanti akan dirumuskan tim tersendiri,” pungkasnya.
Tidak hanya itu, Politikus PDI Perjuangan lainnya, seperti Eva Kusuma Sundari menegaskan jika Nawacita pada Pilpres 2019 nanti merupakan hasil modifikasi dari Pilpres 2014. Di dalamnya , tentu adanya pengembangan dan perluasaan aspek seiring dengan perkembangan teknologi serta kondisi Indonesia empat tahun terakhir ini. “Nawacita II,” ucap Eva memberitahu nama Nawacita yang telah dimodifikasi tersebut, Rabu (11/6/2018)
Ia mengklaim selama Jokowi memimpin Nawacita sudah diterapkan secara optimal. Hasilnya pun telah Nampak da bermanfaat bagi masyarakat. Karena alasan itulah yang membuat PDIP bakal kembali menawarkan Nawacita pada Pilpres 2019 meski akan mengalami sejumlah revisi. “Sudah ada apresiasi rakyat dan luar negeri kok (atas capaian Nawacita I,red),” sebut dia.
Program Nawacita yang diusung Jokowi di Pilpres 2014 lalu memuat sembilan visi antara lain menyangkut soal reformasi sistem hukum, pembangunan dari wilayah pinggir, mewujudkan kemandirian ekonomi, dan meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.
Menurut Eva Nawacita adalah rangkuman program kerja yang identik dengan pemikiran presiden pertama Indonesia, yakni Soekarno di masa silam. Buah pikir Soekarno yang dimaksud, sambung dia, adalah program Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Hal itu kata dia sesuai dengan landasan utama PDIP yakni melanjutkan buah pikir Bung Karno tersebut. “Lebih cocoknya Pembangunan Nasional Semesta Berencana,” pungkasnya.
Sementara itu, pihak Balon Presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno pun juga tidak jauh berbeda dari visi misinya pada Pilpres 2014 yang lalu, diantara tidak terlepas dari pengamatan kinerja petahana selama memimpin Indonesia.
Hal itu terlihat dari bagaimana Partai Gerindra mengkritisi setiap kebijakan yang dilakukan Presiden Jokowi yang justru kian jauh dari amanat konstitusi dan menyengsarakan rakyat kecil, khususnya dibidang ekonomi.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan bahwa akan sangat banyak terobosan dalam visi misi pasangan Prabowo-Sandiaga pada Pilpres 2019 nanti. Terutama , terkait hal-hal keberpihakan kepada kesejahteraan rakyat sebagai formulasi yang paling penting, sehingga dapat mengusung ekonomi kerakyatan seutuhnya.
“Karena yang menjadi prioritas itu adalah rakyat, people center development. Sehingga, berpusat pada manusianya sebagai rakyat. Jadi, pembangunan itu bukan persoalan hanya membangun beton saja, tetapi yang penting itu membangun manusianya, pemberdayaannya dari mulai skill dan perekonomiannya,” kata Fadli saat berbincang dengan aktual.com, di Jakarta, Rabu (29/8).
Lalu apa bedanya, antara visi misi yang diusung Jokowi dengan yang ditawarkan Prabowo? Menurut Fadli, saat ini bukan bicara pada tataran konsep saja, melainkan bagaimana kemampuan dalam pelaksanaannya.
“Saya kira dalam ekonomi tidak banyak yang baru, yang baru justru pelaksanaanya. Ekonomi kerakyatan Pasal 33 (UUD 1945) bukan hal yang baru, tetapi itu kita laksanakan atau tidak?,” pungkasnya.
Tidak jauh berbeda dengan kolega politiknya, Anggota Badan Komunikasi Dewan Pengurus Pusat Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan pihaknya masih menyusun visi misi yang akan diusung Prabowo di Pilpres 2019 nanti.
Andre belum mau membocorkan detail banyaknya poin, konten, serta nama visi misi yang akan diusung. Yang jelas, sambung dia, pada intinya Prabowo berfokus pada ekonomi kerakyatan seperti yang selama ini kerap disampaikan. “Intinya ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi neolib,” kata Andre, di Jakarta (7/8).
Prabowo sebagai calon presiden, kata dia, ingin mengedepankan ekonomi sesuai pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Mantan Danjen Kopassus itu juga disebut menaruh perhatian pada utang negara, tenaga kerja asing, dan ketimpangan ekonomi yang terjadi saat ini.
Sebelumnya, Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon mengatakan, kondisi mutakhir selama empat tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadi salah satu pertimbangan perumusan visi misi Prabowo. Setidaknya ada lima hal yang kerap disampaikan Prabowo dalam sejumlah pidatonya.
Selain utang negara, tenaga kerja asing, dan ketimpangan ekonomi, Prabowo juga sering menyinggung soal eksploitasi sumber daya alam untuk dibawa ke luar negeri dan politik uang dalam pemilihan umum.
Ketika Hope Itu Mulai Bergeser
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang