Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar, Mekopolhukan, Luhut B Panjaitan, Mantan Jubir Presiden Gus Dur, KH Yahya Staqub, Budayawan, Sudjiwo Tedjo menjadi narasumber pada acara diskusi di DPP PKB, Jakarta, Selasa (22/12/2015). Dalam rangka memperingati Haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), DPP PKB mengelar acara diskusi dengan tema "Menghidupkan Kembali Spirit Gus Dur". AKTUAL/JUNAIDI MAHBUB

Konflik antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) semakin memanas. Kedua belah pihak saling serang, menciptakan ketegangan di kalangan Nahdliyin dan para simpatisan PKB. PBNU berusaha keras untuk merebut kembali PKB, yang menurut mereka telah berbelok dari tujuan awal pendiriannya. Sementara itu, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar (Gus Muhaimin), dengan tegas menolak klaim tersebut dan menyatakan bahwa PKB bukanlah milik NU pribadi.

Ketegangan ini berawal dari pernyataan Gus Yahya, Ketua Umum PBNU, yang menilai PKB telah melenceng dari visi dan misi awal saat didirikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Yahya menuduh PKB lebih mengutamakan kepentingan politik pragmatis daripada memperjuangkan nilai-nilai dan aspirasi warga NU. Menurutnya, PKB seharusnya tetap menjadi representasi politik NU yang konsisten dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam, khususnya warga Nahdliyin.

Di sisi lain, Gus Muhaimin membalas tuduhan tersebut dengan tegas. Ia menegaskan bahwa PKB adalah partai politik yang terbuka untuk semua kalangan, tidak hanya untuk warga NU. Menurutnya, meskipun PKB memiliki akar yang kuat di lingkungan NU, partai tersebut harus berkembang dan beradaptasi dengan dinamika politik nasional. Gus Muhaimin menambahkan bahwa keterlibatan PBNU dalam urusan partai politik seharusnya tidak terlalu dominan, agar tidak mengganggu independensi dan fleksibilitas partai dalam berpolitik.

Pertentangan antara PBNU dan PKB semakin memanas ketika PBNU mengumumkan akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengembalikan PKB ke NU. Pansus ini bertujuan untuk memastikan bahwa PKB kembali ke jalur yang sesuai dengan cita-cita pendirinya. Langkah ini dipandang sebagai upaya PBNU untuk mengambil alih kendali PKB dan mengembalikan pengaruh NU di dalam partai tersebut.

Namun, langkah PBNU ini menuai kontroversi. Banyak pihak menilai bahwa pembentukan Pansus tersebut merupakan langkah yang terlalu jauh dan bisa berdampak negatif pada stabilitas partai. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa campur tangan PBNU dalam urusan PKB bisa memicu perpecahan di internal partai dan memperburuk hubungan antara NU dan PKB.

Sejumlah tokoh NU yang juga kader PKB menyatakan keprihatinannya atas konflik ini. Mereka berharap kedua belah pihak bisa menahan diri dan mencari solusi terbaik melalui dialog. Menurut mereka, baik PBNU maupun PKB memiliki peran penting dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, perseteruan antara kedua belah pihak hanya akan merugikan umat dan melemahkan kekuatan politik NU di kancah nasional.

Para pengamat politik melihat konflik ini sebagai cerminan dari dinamika internal di tubuh NU dan PKB. Mereka menilai bahwa adanya perbedaan pandangan dan kepentingan di antara para elite NU dan PKB merupakan hal yang wajar dalam organisasi besar. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa konflik yang tidak terkelola dengan baik bisa berdampak negatif pada citra dan elektabilitas PKB di mata publik.

Sejauh ini, belum ada tanda-tanda bahwa kedua belah pihak akan mencapai kesepakatan dalam waktu dekat. PBNU tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk mengembalikan PKB ke NU, sementara Gus Muhaimin dan para petinggi PKB lainnya terus menolak klaim tersebut. Situasi ini membuat para kader dan simpatisan PKB berada dalam posisi sulit, karena mereka harus memilih antara loyalitas kepada partai atau kepada PBNU.

Dalam konteks politik nasional, konflik ini juga bisa mempengaruhi peta koalisi dan aliansi partai-partai menjelang Pemilu mendatang. PKB, yang selama ini dikenal sebagai salah satu partai berbasis massa Islam terbesar, tentu akan berusaha menjaga kekompakan dan soliditas internalnya agar tetap kompetitif dalam pertarungan politik nasional. Di sisi lain, NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia juga akan berupaya menjaga pengaruhnya di kancah politik nasional, termasuk melalui peran di partai politik.

Di tengah situasi yang memanas ini, banyak pihak berharap agar PBNU dan PKB bisa segera menyelesaikan konflik mereka melalui jalan musyawarah. Dialog dan negosiasi dianggap sebagai cara terbaik untuk mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Dengan demikian, baik PBNU maupun PKB bisa kembali fokus pada perjuangan bersama untuk memperjuangkan kepentingan umat dan bangsa.

Konflik ini juga menjadi pelajaran bagi partai-partai politik lainnya agar lebih berhati-hati dalam menjaga hubungan dengan ormas atau kelompok masyarakat yang menjadi basis dukungannya. Keberhasilan sebuah partai politik tidak hanya ditentukan oleh kekuatan elektoralnya, tetapi juga oleh kemampuan menjaga hubungan harmonis dengan berbagai elemen masyarakat yang mendukungnya. Hanya dengan demikian, partai politik bisa tetap eksis dan berkontribusi positif bagi pembangunan bangsa dan negara.

Redaksi Aktual