Pelaku UMKM yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) ikut memberikan respons terkait PKE 16 ini. Ketua HIPMI, Bahlil Lahadalia sebagaimana dikutip menilai, dari 54 bidang usaha termasuk 25 di antaranya yang bisa ‘digarap’ asing hingga 100%, merupakan sektor industri yang masuk kategori Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Kondisi ini disebutnya berbahaya lantaran UMKM adalah sektor usaha yang langsung dengan masyarakat. Bila dikuasai asing, maka Indonesia bisa kehilangan kedaulatan ekonominya.

“DNI yang dibuka oleh pemerintah itu dari 54 itu semuanya UMKM sementara UMKM ini adalah benteng terakhir untuk mempertahankan perekonomian nasional. Pada tahun 1998 yaitu pada saat krisis ekonomi dimana konglomerat-konglomerat itu melarikan diri bahkan mempailitkan diri. Itu yang bertahan itu UMKM,” beber dia.

Menurutnya, sah-sah saja membuka peluang investasi bagi asing bila tujuannya membuka lapangan kerja baru dan mencipatakan kompetisi atau persaingan usaha.

Namun, ia khawatir kebijakan ini justru bisa mematikan usaha kecil lantaran mereka berpotensi dipaksa bersaing dengan korporasi bermodal jumbo dari luar negeri lantaran adanya kebijakan ini.

“Menurut saya tidak terlalu menjanjikan, memang ini satu kompetisi. Saya pun suka kompetisi, tapi kompetisinya harus berimbang dong. Jangan nggak apple to apple dong! Masa orang suruh berkompetisi UMKM kita yang tamatan sekolahnya SMP kebawah harus berkompetisi dengan UMKM yang dari Jerman atau yang dari Jepang. Ini nggak benar,” sebutnya.

Untuk itu, ia meminta pemerintah kembali mempertimbangkan kebijakan pelonggaran DNI. “Anggaota HIPMI kita UMKM, kita minta DNI dicabut itu 90% anggota HIPMI UMKM itu mau di-kemanakan anggota saya itu,” tandas dia.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Iskandar Simorangkir mengatakan, meskipun nantinya asing diperbolehkan untuk memiliki saham hingga 100% para pelaku UMKM tidak perlu khawatir. Sebab menurutnya, kebijakan tersebut sama sekali tidak akan mengganggu bisnis dari UMKM.

“Apakah akan mengganggu UMKM? Saya rasa tidak (akan mengganggu bisnis UMKM),” ujarnya dalam acara Konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (16/11/2018).

Menurut Iskandar berdasarkan level bisnisnya, antara UMKM dengan asing sudah jauh berbeda. UMKM memiliki aset maksimal hingga Rp10 miliar, sedangkan jika asing pastinya memiliki aset lebih dari itu.

“Jadi kalau UMKM sampai Rp10 miliar kekayaan bersih tapi kalau PMA kan harus lebih dari situ. Kemudian dari segi skalanya saja sudah beda,” ucapnya.

Lagi pula menurutnya, justru dengan kebijakan ini para pelaku UMKM mendapatkan keuntungan. Karena menurut Iskandar, bisnis dari UMKM bisa berkembang karena bisa dibantu oleh pihak asing.

Iskandar menambahkan, berdasarkan laporan Bank Dunia, UMKM yang sukses dan naik kelas adalah bukan mereka yang anti dengan asing. Justru mereka merekalah yang bisa bergaul dengan asing.

“Tadi saya bilang dari laporan Bank dunia, perusahaan UMKM yang sukses adalah yang bergaul dengan asing. Artinya kita kasih kesempatan dia mengetahui,” kata Iskandar.

“Apakah tidak mengganggu tidak. Karena levelnya sudah berubah. Yang kedua adalah dia akan mendapatkan manfaat,” imbuhnya.

Iskandar menambahkan, kepemilikan asing ini juga bisa bermanfaat bagi perekonomian negara. Sebab, para investor asing ini bisa membuka lapangan-lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia.

“Kedua positifnya artinya asing ini bukan berarti dia melakukan penguasaan ekonomi. Tapi misalnya dia butuh tempat yang nyaman dia butuh tenaga kerja yang terampil. Artinya ada kerjasama benefit ekonomi,” jelasnya.

Oleh: Arbie Marwan

[pdfjs-viewer url=”https%3A%2F%2Fwww.aktual.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F11%2FPKE-16-Jalan-Menjual-Indonesia-Ke-Asing_AktualCom21-11-2018.pdf” viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true]