Kunjungan Perdana Menteri Malaysia, Tan Sri Muhyiddin Yassin pada Jumat (5/2/2021) lalu di Istana Merdeka Jakarta menarik perhatian publik. Pasalnya, kunjungan itu dilakukan di saat pandemi Covid-19 masih mewabah di kedua negara.
Selain itu, situasi politik di Malaysia pun tengah bergejolak usai ditetapkannya status Keadaan Darurat yang membuat parlemen di sana tak dapat bersidang.
Peneliti Ahli Utama P2P LIPI, Syafuan Rozi Soebhan menilai bahwa kunjungan PM Malaysia di masa Covid 19 ini cenderung melanggar prinsip Darurat Sipil Covid 19 yang ia buat sendiri di dalam negeri. Darurat Sipil itu memuat larangan berpergian, walaupun hanya dalam bentuk kunjungan 24 jam.
“Kalau PM (Muhyiddin) konsisten dengan kebijakan daruratnya yang dibuat tanpa melibatkan parlemen Malaysia tersebut, maka pertemuan penting antar Kepala Negara dan para Menteri sangat bisa diadakan via zoom meeting atau google meet atau messenger video call, yang bisa diliput oleh media massa, tanpa memaksakan kunjungan fisik ke Jakarta,” kata Syafuan dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin (8/2/2021).
Kepergian PM Muhyiddin ke luar negeri ini rupanya meninggalkan beberapa pertanyaan dan persoalan di Malaysia. Misalnya, soal legitimasi yang telah hilang karena mengabaikan Prinsip Rukun Negara Malaysia 1970 dalam membuat kebijakan Darurat Sipil tanpa keputusan parlemen.
“Terkait penetapan darurat sipil sepihak yang tidak melibatkan parlemen, ini melanggar ketentuan prinsip Rukun Negara Kerajaan Malaysia 31 Agustus 1970. Jika ini dilanggar, akan melemahkan keabsahan dan legitimasinya dalam menata negara,” ujarnya.
Sebelumnya, tindakan Muhyiddin dalam menetapkan keadaan darurat yang melibatkan parlemen mendapat penolakan dari sejumlah partai oposisi di koalisi Pakatan Harapan.
Menurut pemimpin oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, keputusan itu sangat mengada-ada. Ia pun telah bersurat kepada Raja Malaysia (Yang di-Pertuan Agong) untuk mencabut status keadaan darurat.
Anwar juga mendesak anggota parlemen lainnya ikut meminta kepada Raja untuk mencabut keadaan darurat itu. Tujuannya agar parlemen dapat bersidang sebelum akhir Januari untuk membahas isu seputar pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi.
“Saya telah mengirim surat kepada semua anggota parlemen mendesak mereka untuk menulis kepada Raja mencabut penerapan keadaan darurat dan menyerukan agar parlemen bersidang secepat mungkin,” kata Presiden Partai Keadilan Rakyat itu, melansir Straits Times, pertengahan Januari lalu.
Menangguk Keuntungan
Ketidaksukaan warganet Malaysia ikut mengiringi lawatan resmi Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin ke Indonesia. Akun facebook Presiden Joko Widodo yang berisi ucapan selamat dan unggahan foto kedua Kepala Negara ramai dibanjiri komentar negatif warganet Malaysia. Sebagian besar menunjukkan kekecewaannya terhadap PM Muhyiddin dengan mengunggah tagar #NotMyPM dan #MuhyiddinOut.
Tercatat hingga 9 Februari 2021, unggahan tersebut sudah direspon 84.049 netizen dan dikomentari sebanyak 17.951 netizen. Beragam isu disampaikan, mulai dari keabsahan politik PM Muhyiddin, keadaan darurat hingga janji pembagian bantuan sosial.
Keputusan keadaan darurat Covid-19 ini sejatinya dinilai memberi keuntungan bagi PM Muhyiddin Yassin. Syafuan mengungkapkan, Muhyiddin memanfaatkan pandemi Covid-19 menjadi momentum untuk mengisi dan mempertahankan kekuasaan dengan seolah-olah memperbaiki hubungan Indonesia-Malaysia.
“Dilema PM (Muhyiddin) adalah bagaimana memanfaatkan momentum Covid-19 untuk mempertahankan kekuasaan. Di sisi lainnya, dan persoalan ketentuan Konstitusi 1970 (Keabsahan PM) yang cenderung telah menjadi tuntutan politik di dalam negeri Malaysia,” katanya.
Apalagi, imbas penetapan keadaan darurat ini, Presiden Pribumi Bersatu Malaysia (BERSATU) itu bakal terus berkuasa sampai status darurat selesai yakni 1 Agustus 2021. Pasalnya, status darurat ini membuat Pemilu, Pemilu Negara Bagian, dan Pemilu Kecil di negeri jiran tersebut tidak dapat diselenggarakan.
Kehilangan Dukungan Mayoritas
Usai menetapkan keadaan darurat secara sepihak, Muhyiddin kehilangan dukungan di parlemen. Anggota parlemen dari Partai Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), Nazri Aziz menyatakan menarik dukungan dari koalisi pendukung pemerintah, Perikatan Nasional (PN).
Menurut Nazri, penerapan keadaan darurat sama saja mengakui kekalahan. “Bagi saya, ketika dia (Muhyiddin) mengajukan permohonan keadaan darurat, berarti dia mengaku kalah dan tidak akan lagi mendapatkan dukungan mayoritas,” kata Nazri, dikutip dari The Star, Januari lalu.
Dalam sistem parlementer, menurut Syafuan, kondisi hilang dukungan mayoritas di parlemen tersebut bisa memunculkan Mosi Tidak Percaya yang berujung pada pemakzulan PM Muhyiddin Yassin.
“Kondisi ini bisa memunculkan mosi tidak percaya yang bisa memakzulkan Perdana Menteri yang tidak taat konstitusi negara,” tuturnya.
Sementara itu, Pengamat Politik Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna menilai penetapan keadaan darurat yang membuat parlemen Malaysia tidak dapat bersidang merupakan langkah politis untuk menghambat upaya pemakzulan.
Hal ini mengingat dukungan terhadap PM Muhyiddin sudah mulai goyah di parlemen.
“Betul. Dukungan terhadap PM Muhyiddin terlihat goyah. Pembekuan aktivitas parlemen dicurigai sebagai caranya untuk mengulur waktu dan mengkonsolidasikan kekuatan. Namun, harus diingat bahwa politik Malaysia itu sangat dinamis. Muhyiddin sendiri dulu naik (jadi PM) dengan mengacak-acak koalisi yang tadinya didukungnya,” ujar Shofwan kepada aktual.com, Senin (8/2) kemarin. (AH/ MJ)
Artikel ini ditulis oleh:
Megel Jekson