Di awal masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertekad melakukan reformasi di sektor energi. Salah satunya dengan mencabut subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium yang kurang tepat sasaran karena lebih dari 70% penerimanya bukan orang miskin.
Pada 17 November 2014, Jokowi ingin menunjukkan bahwa pihaknya berani tidak populer dengan mengumumkan sendiri kenaikan harga Premium dan Solar.
Selain mencabut subsidi untuk Premium, Jokowi juga mengganti skema subsidi Solar menjadi subsidi tetap sebesar Rp 1.000/liter. Dengan begitu, harga Premium dan Solar akan naik turun mengikuti fluktuasi harga minyak dunia.
Tapi kebijakan itu hanya berjalan selama 1,5 tahun hingga April 2016. Semenjak itu sampai sekarang, harga Premium dan Solar tak lagi mengikuti harga minyak dunia. Padahal, harga minyak sudah jauh melonjak dari kisaran USD 30 per barel ke level USD 60 per barel di 2018.
Mendekati Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2019, Jokowi mengambil keputusan untuk tidak akan menaikkan harga BBM sampai akhir 2019. Dampaknya, Pertamina menanggung kerugian dari penjualan Premium dan Solar.
Bank Dunia Kritik Inkonsistensi Jokowi
Bank Dunia (World Bank) menilai harga BBM tidak selamanya bisa ditetapkan di satu harga saja. Apalagi, komponen harganya sangat bergantung dengan harga minyak dunia.
“Saya melihat pemerintah mencoba untuk makesure bahwa inflasi tidak mengalami peningkatan yang signifikan karena akan berpengaruh ke private consumption. Tapi di sisi lain kita juga khawatir, kita tidak bisa membuat harga BBM itu konstan selamanya, terlebih jika krisis global meningkat,” kata Senior Economist World Bank Derek Chen di Kantor Bank Dunia, Jakarta, Kamis (12/4).
Dengan harga minyak dunia yang terus bergerak naik maupun turun, harga BBM yang dijual pun melakukan penyesuaian. Hanya saja, kata Derek, penyesuaian yang dilakukan tidak bisa langsung secara penuh melainkan harus bertahap.
“Cepat atau lambat, kita harus membiarkannya (mengalami penyesuaian). Mungkin penyesuaian harganya besar atau mungkin secara bertahap, Kita berharap tidak terlalu besar penyesuaiannya, karena itu akan sedikit mengacaukan,” ujar dia.
Derek mengatakan keputusan untuk tidak melakukan penyesuaian harga BBM di saat harga minyak dunia tinggi juga akan memberikan dampak terhadap perusahaan dalam hal ini Pertamina dan PLN untuk bahan bakar pembangkit listrik.
“Kadang, jika kita membiarkan harga BBM tetap terus krisis keuangan global meningkat, badan usaha harus menanggung gap (antara harga minyak dunia dengan harga BBM). Ini akan mengacaukan untuk Pertamina atau PLN,” tutup dia.
Pemerintah Naikan Harga BBM dan Elpiji Subsidi di Tahun 2019, Beranikah?