Jakarta, Aktual.co — Dua tahun jelang kejatuhan Presiden Suharto, seorang Indonesianis dari Universitas Ohio, Amerika Serikat, Benedict Anderson mengupas perilaku politik Suharto yang dilandasi tradisi budaya kekuasaan para aja Jawa maupun konsep politik yang terkandung pada dunia pewayangan. Karena ulasan Tentang “Lengser Keprabon” oleh Ben Anderson yang diterbitkan terbatas oleh (INDONESIA-L) pada 25 Nov 1997 itu cukup panjang, maka artikel ini terpaksa diterbitkan ulang dalam lima seri pemuatan. Silahkan dicermati. Redaksi.

KESAKTIAN SANG PRABU

T: Kalau dia bicara spontan terlihat sebenarnya Suharto tidak paham sejarah, tidak paham tradisi etniknya sendiri, tidak paham agamanya sendiri, dsb. Mengapa begitu banyak orang bisa ketipu? Mengapa begitu banyak orang pinter yang sempet dibodo-bodoin? Dan mengapa bisa ditipu begitu lama? Dimana rahasia ‘kesaktian’nya Prabu Suharto ini?
J: Kita harus ingat bahwa saat ‘kebadaran’ ini hanya sekali-sekali terjadi. Biasanya Suharto bicara dengan suara seorang Presiden, bukannya dengan suara sinuhun. Bahwa Suharto dan isterinya punya mental pingin-menjadi-sinuhun sebenarnya sudah lama ketahuan. Lihat saja bakal kuburannya di Mangadeg yang seolah-olah bersaing dan mau mengatasi bangsanya Imogiri dan kuburan-kuburan Mangkunegaran. Bandingkan dengan Bung Karno, yang tak pernah bikin gituan. Tapi orang diem-diem ketawa saja, tak dianggap serioes.
Pernah kedengaran saudagar kecil di Solo kasih komentar tentang Mangadeg dengan nada sinis, “Kok koyo kuburan Cino?” Emangnya megah, tapi pada suatu hari bisa saja digusur. Saya kira orang Indonesia pada umumnya ndak tertipu, mereka tahu siapa Suharto. Buat mereka yang penting adalah ekonomi yang diciptakannya, bedil yang dipergunakannya, dan ketiduran-pasca-trauma besar yang diaturnya. Kalau diem-diem dia merasa diri seperti raja, yah biarlah.
T: Rakyat Indonesia yang ‘non-Jawa’ itu lebih banyak. Selain yang di luar Jawa, di P. Jawa sendiri ada suku Sunda dan Madura. Apakah mereka juga terpengaruh oleh konsep “raja yang punya wahyu” itu?
J: Apakah ada dalam budaya tetangga – Sunda, Bali, Madura? Saya kurang tahu. Tapi diluar Jawa belum pernah saya dengar tentang konsep wahyu. Di daerah sana, teknik menjadi raja besar agak lain. Silahkan baca umpamanya Hikayat Hang Tuah dari Melayu. Tapi dimana-mana raja berusaha untuk meyakinkan masyarakat bahwa dia mewakili, diutus, inkarnasi, titisan, atawa punya ‘bekking’ dari Dewa. Dan Dewa ini bisa macam-macam, tergantung jaman, agama, dan situasi.
Jadi pada dasarnya sama dengan Jawa. Begitu juga dengan raja-raja Eropa jaman dulu. Ingatlah “The Divine Right of Kings.” Di Eropa agama Kristen cukup dinodai oleh kongkalikong pemimpinnya dengan nonsens macem ini. Mau saja para uskup menobatkan raja-raja di gereja. Memalukan! Di Timur Tengah, jabatan Kalifah — artinya penerus dari Nabi Muhammad SAW — plus Sultan diperkokoh oleh apa yang diajarkan oleh sebagian ulama. Padahal Nabi Muhammad SAW tidak pernah mau dijadikan seorang sultan alias prabu. Sehingga masalah lengser keprabon dereng wonten pada Jaman Mas itu.

BAHASA DAN KEKUASAAN

T: Bung Karno juga suka memakai istilah-istilah dalam Bahasa Jawa. Misalnya gotong royong, ganyang, gontok-gontokkan, holopis kuntul baris, sontoloyo, dsb. Apa ada bedanya istilah-istilah yang dipakai BK dengan yang dipakai Suharto?
J: Bung Karno suka memakai kata-kata Jawa — dengan bentuk potong-potongan, bukan kalimat — karena dia menikmati lezatnya, ‘hidup’nya kata-kata itu sebagai semacam bumbu untuk masakan bahasa Indonesianya. Jarang beliau pakai klise-klise yang membosankan. Dan orang non-Jawa merasa ikut nikmat sehingga kata-kata Jawa seperti ganyang, gotong-royong, dsb bisa cepat masuk kamus sehari-harinya. Tapi Jawanya Suharto kebanyakannya berupa kalimat, seolah-olah pepatah. Tak masuk diakal bahwa ‘lengser keprabon madeg pandito’ akan dipakai sehari-hari oleh orang non-Jawa kecuali sebagai lelucon politik. Satu-satunya kata Jawa yang diperkenalkan oleh Suharto dan menjadi populer adalah: gebug!

JIWA BIROKRAT

T: Dalam sejarah Indonesia modern banyak tokoh hebat yang juga dari suku Jawa. Misalnya Bung Karno yang satu generasi diatas Suharto. Pramoedya yang hampir seumur dengan Suharto, Pram lahir 1925, Suharto lahir 1921. Dan Gus Dur, satu generasi dibawah Suharto. Mereka nggak punya ide bahwa presiden itu mirip raja. Mereka nggak kedengeran memakai klise-klise kuno seperti Ojo Dumeh, dsb. Mereka juga nggak tergila-gila dengan konsep Tut Wuri Handayani, dsb. Mereka beda dengan Suharto! Mengapa?
J: Kita ingat tokoh Sastro Kassir di novel-novelnya Pram yang dinamakannya karya Buru. Dia bersedia berbuat apa saja ‘demi jabatan.’ Menarik bahwa orang-orang yang disebut tadi sebagai tokoh Jawa yang hebat tak ada diantaranya seorang pegawai negeri, baik sipil maupun militer. Mereka orang merdeka, dan dua diantaranya memang orang pergerakan. Sedangkan Suharto sepanjang hidup menjadi birokrat. Semula sebagai bintara di KNIL, terus masuk polisi dan kemudian PETA bikinan Jepang selama pendudukan Jepang, dan setelah itu masuk ABRI. Selama jaman kolonial dan pendudukan Jepang sama sekali tak ada bukti bahwa dia menjadi oposan atau aktivis. Malah sebaliknya, dia berhamba kepada KNIL dan Gunseikanbu. Tentu saja tidak sendirian. Ratusan ribu orang Jawa lain demikian.
Seumur hidup saya belum ketemu dengan birokrat di negara manapun juga yang punya jiwa yang merdeka dan kreatip. Mereka dilatih untuk melaksanakan perintah atasannya dan tidak mbalelo. Waktu masih muda harus membiasakan diri untuk sering kena semprot atasannya dengan harapan ‘mulia’ bahwa setelah 20 tahun naik pangkat terus akhirnya berkesempatan nyemprotin bawahannya. Oya, ojo dumeh bukan klise. Itu bahasa sehari-hari dan maksudnya hanya sebagai teguran: jangan, asal mumpung, jadi angkuh. Kata itu juga banyak disebut dalam pembelaannya Disman di depan Mahmilub.

KEKEJAMAN DAN KEKUASAAN

T: Kekejaman raja-raja jaman dulu itu terjadi bukan hanya di Jawa. Kami sudah nonton film Braveheart, tentang pemberontakan rakyat Skotland terhadap kesewenang-wenangan raja Inggris, Edward-1, pada tahun 1297. Waktunya kira-kira sama dengan jamannya Raden Wijaya, cicitnya Ken Arok, mendirikan Majapahit pada tahun 1293. Pemimpin pemberontakan itu, William Wallace (dimainkan oleh Mel Gibson) tertangkap. Dia disiksa dengan kejam sekali. Badannya diiris-iris, lalu dipotong jadi empat dan dikirim ke empat penjuru negeri. Kepalanya ditanam di London Bridge. Kekejaman itu dilakukan untuk membuat takut rakyat. Budaya Jawa dan Inggris itu beda sekali. Toh kebuasan raja terjadi juga. Apakah ini terjadi karena budaya atau karena tidak ada kontrol dalam ‘sistim politik’nya?
J: Itu kebiasan di mana-mana di jaman pra-industri. Raja-raja merasa perlu ditakutin dan disegani. Tetapi mereka nggak punya polisi yang besar dan teratur, apalagi tentara tetap dan profesional. Tidak punya badan inteljen strategis. Tak punya alat penyadap tilpon karena tilpon belum ada. Penjara modern tidak ada, malahan yang primitif juga relatif jarang. Jadi hampir semua peralatan negara modern yang bisa dikerahkan untuk nakutin orang itu belum ada. Maka, satu-satunya alat yang ampuh adalah siksaan spektakuler dan eksekusi yang mengerikan yang justru dipertontonkan kepada masyarakat.
Jaman sekarang siksaan dan eksekusi tetap banyak tetapi dijalankan diem-diem di belakang pintu tebal, dan masyarakat tak boleh menyaksikannya. Horornya Hitler hanya mungkin atas dasar modernitas dan jaman industri. Gulagnya Stalin begitu juga. Jadi ini bukan perkara kebudayaan, tapi perkara jaman dan dasar ekonomi.
Orang-orang buas ada di sepanjang jaman dan dalam setiap kultur. Tapi dasar ekonomi-teknologi berubah sehingga sekarang ada perbedaannya. Dalam Perang Vietnam, Amerika sempat membunuh kira-kira 3 juta manusia di Vietnam, Kamboja dan Laos, sebagian besar dengan bom dan alat supermodern, sedangkan orang Amerika yang mati ‘cuman’ 48 ribu manusia. Toh kalah. Sebaliknya, pada tahun 65-66 di Indonesia ketika lebih dari setengah juta orang Indonesia mati, alat sembelehnya jauh lebih sederhana, karena tingkat ekonomi Indonesia emangnya sederhana: golok, tombak, klewang, clurit, bedil, bukannya gas racun atawa bom.
T: Dalam negara modern seperti di AS ini, ‘raja’nya juga bisa kejam luar biasa. Misalnya Nixon (film sejarah “Nixon” sudah dibuat oleh Oliver Stone, Nixon dimainkan oleh Anthony Hopkins). Ini orang yang membom Kamboja, Vietnam dan Laos. Korbannya jutaan orang, dan penderitaan rakyat di sana — karena bom-bom beracun, ranjau darat, dsb — masih terjadi sampai sekarang. Nixon membohongi rakyatnya sendiri. Dia baru apes gara-gara bandit swasta yang dia sewa untuk ngobrak-abrik sarang partai lawannya di hotel Watergate itu ketangkep. Supaya bisa terus kuasa, dia tega mengorbankan teman-teman dekatnya sendiri seperti Bob Haldeman (White House Chief of Staff), John Ehrlichman (Counsel to the President), John Mitchell (Attorney General). Mengapa Nixon — orang yang sangat terdidik lalu menjadi presiden suatu negara modern, dengan penduduk yang terdidik, dengan lembaga-lembaga negara yang modern — toh tindakannya tidak lebih beradab dibandingkan raja-raja jaman dulu?
J: Nixon memang bejat. Tapi ada perbedaan yang menyolok dengan raja-raja dulu baik di Eropa maupun di Jawa: dia tidak akan terlalu berani bunuh bangsa dewek. Ingatlah krisis besar ketika empat mahasiswa di Universitas Kent State dibunuh polisi ketika lagi protes perang Vietnam. Di Indonesia selama Orde Baru ngabisin nyawa mahasiswa — seperti di Ujung Pandang tahun lalu — yah, itu dianggep perkara kecil dan tak pernah menggoncangkan pemerintah. Emangnya mbalelo, lantas semestinya digebugin, kan? Sedangkan yang banyak dibunuh Nixon itu, yah orang asing yang kampungnya jauh dari Amerika. Dan ini semua dengan dalih ‘perang.’ Sepanjang sejarah manusia, perang menyucikan segalanya. Asal tentara lagi perang, tidak dianggap kriminal kalau membunuh manusia lain.
Sedangkan raja-raja dulu biasanya minta korban bangsanya sendiri. Pertama, karena mereka dianggap ‘hamba’nya, atau ‘kawula’nya, bukan warganegara. Kedua, karena ketika itu nggak ada pers dan TV. Dan ketiga, alat pembunuh jarak-jauh — pembom dahsyat B-52, peluru kendali ICBM, dllnya — belum ada. Seandainya si raja dulu ingin menyaingi Hitler dalam perlombaan menjadi juara “Orang paling kejam sedunia,” mana bisa menang! Alatnya masih kurang canggih.
Sepanjang sejarah raja-raja kuno di Jawa, maupun sejarah Kumpeni, tak pernah ada penguasa yang sempat ngabisin setengah juta pribumi dalam beberapa bulan saja seperti yang terjadi tahun 65-66. Bukan karena mereka itu lebih manusiawi, bukan.2) Tapi karena birokrasi-maut dan alat-alat teror lain waktu itu belum terbayangkan apalagi diciptakan. Kata Walter Benjamin, “Every document of civilization is at the same time a document of barbarism.” (Habis, wawancara tgl 3 dan tgl 20 Nop 1997).***

Catatan:
1. Catatan editor: Togog dan Bilung (adiknya, kadang-kadang disebut juga Sarawita) adalah punakawan satria yang jahat. Sifat mereka itu tidak setia dan suka pindah-pindah majikan.
2. Ini sebagai contoh : Kumpeni pernah membantai hampir semua penduduk pulau Banda di 1621 [red.:lih. buku Willard A. Hanna & thesis H.G. Aveling “Bandanese Culture and society, about 1600” hal.16 ttg Jan Coen] – Untuk raja Jawa ambil saja sejarah Genghiz Khan tanah Java, Sultan Agung. Dalam 1620-1625 saban usai musim panen Surabaya dan sekitarnya itu menjadi kubangan serdadu Mataram yang merampok dan membunuhi orang. Di 1936 Balambangan ditaklukkan dan hampir seluruh penduduknya dibuang. [red.:lih. Sembah-Sumpah … hal.21, khususnya catatan kaki 23-24]

PUSTAKA UNTUK WAWANCARA

1. Kompas, 20/10/97, “Renungkan Kembali,” (Memuat pidato presiden Suharto tentang “lengser keprabon” di depan Rapim Golkar tgl 19/10/97)
2. Coedes, G., 1968, “The Indianized States of Southeast Asia.” The East-West Center Press, Honolulu (Buku ini banyak mengutip Negarakertagama karangan Prapancha, (th. 1365), Pararaton (akhir abad-15). Kisah singkat Ken Angrok juga dari sini).
3. Hefner, Robert W., 1990, “The Political Economy of Mountain Java. An Interpretive History,” University of California Press, Los Angeles (Informasi tentang akhir Majapahit sekitar tahun 1520, kemudian jatuh ke bawah kepemimpinan politik dan spiritual Demak)
4. Soetarno AK, Drs. R., 1987 “Ensiklopedia Wayang,” Dahara Prize, Semarang, h 261, 290 (Tentang Togog dan Sarawita).
5. Halliday, F.E., 1995, “England, a concise history,” Thames and Hudson, New York, h 58 (Tentang Edward-1 dan William Wallace).
6. Maclean, Fitzroy, 1996, “Scotland, a concise history,” Thames and Hudson, New York, h 37, 38 (Tentang Edward-1 dan William Wallace).
7. Aitken, Jonathan, 1993, “Nixon, a life,” Regnery Publishing, Inc., Washington D.C., Chapter 17, 18 dan 19 (Tentang Nixon, pemboman Vietnam dan skandal Watergate).
8. Indonesian Banda : colonialism and its aftermath in the Nutmeg Islands / by Willard A. Hanna.
9. Sembah-sumpah (Courtesy and Curses): The politics of Language and Javanese Culture / by Benedict R. Anderson, dalam “Change and Continuity in Southeast Asia” ed. by Roger A. Long & Damaris A. Kirchhofer.
10. Mythology and the tolerance of the Javanese / by Benedict R. O’G. Anderson – edisi terbaru terbitan Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, 1996.
11. Film “Bravehart”
12. Film “Nixon”
Dikutip dari     http://www.geocities.com/edicahy/selectedworks/BAnderson3.html

Artikel ini ditulis oleh: