Jakarta, Aktual.com – Kissinger mengungkapkan “Control oil and you control nations; control food and you control the people”, (Kuasai minyak maka anda akan mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda akan menguasai rakyat). Dalam perkembangannya, Oil tidak hanya sebatas minyak, melainkan energi yang mencakup gas, tambang mineral, batubara hingga listrik. Untuk menghindari penguasaan hajat hidup orang banyak pada segelintir perusahaan atau individu, maka negara hadir sebagai wujud representasi rakyat melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
International of Encyclopedia of social sciences mendefenisikan oligarki sebagai bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik berada di tangan minoritas kecil. Istilahnya berasal dari kata bahasa Yunani oligarkhia (pemerintahan oleh yang sedikit), yang terdiri atas oligoi (sedikit) dan arkhein (memerintah). Sedangkan oligark adalah pelaku yang menguasai dan mengendalika konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya. Sumber daya itu harus tersedia untuk digunakan demi kepentingan pribadi. Jika kekayaan pribadi dalam jumlah yang ekstrem tidak ada, maka oligark juga tidak ada. (Disarikan dari buku OLIGARKI penulis: Jeffrey A. Winters. thn 2011).
‘Manisnya’ posisi Menteri BUMN ditenggarai menjadi ajang bancakan oligarki yang berkuasa. Hal ini sudah terjadi sejak lama, namun seiring perjalanan waktu, bancakan terhadap BUMN semakin dalam. Jika dulu hanya sebatas belanja dan keuntungan BUMN, namun sekarang telah menyasar aset-aset BUMN baik melalui utang maupun privatisasi, sekuritisasi aset BUMN dan lain lain
Untuk menggenjot pembangunan infrastruktur, pemerintahan Jokowi-JK memanfaatkan keuangan BUMN untuk pembiayaan mega proyek. Tidak hanya melalui APBN, pembiayaan dilakukan melalui utang terbuka maupun tertutup. Pasalnya, dana APBN tidak mencukupi pembiayaan mega proyek infrastruktur yang bernilai hingga Rp6.000 triliun. Sementara APBN sendiri sebagian besar hanya cukup untuk pembiayaan rutin seperi gaji, tunjangan dan kegiatan rutin pemerintahan lainnya. Sementara utang pemerintah sendiri meningkat berkisar antara Rp400 triliun – Rp500 triliun setiap tahun.
“BUMN akhirnya dijadikan tulang punggung dalam mencari sumber pembiayaan baik melalui utang maupun dengan cara menjual aset-aset BUMN melalui privatisasi. Sementara saat ini utang-utang BUMN sebenarnya telah berada pada level yang cukup mengkhawatirkan, terutama BUMN yang berkaitan erat dengan pemenuhan hajat hidup masyarakat banyak. Demikian juga dengan kepemilikan asing dalam BUMN juga semakin besar seiring dengan upaya privatisasi yang dilakukan pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung,” ujar analis ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamuddin Daeng.
Praktik ini menjadikan BUMN sebagai sapi perah, dipaksa untuk mencari keuntungan oleh oknum tertentu. Berbagai proyek besar dijadikan perantara oleh oknum tertentu untuk mengeruk keuntungan. Tak heran, jika banyak proyek besar tak masuk akal yang sejatinya tidak terlalu dibutuhkan oleh masyarakat. Proyek-proyek besar yang ada di Indonesia merupakan lanjutan dari proyek yang digagas oleh elite global ketika banyak komoditas di tingkat global yang berlebih produksinya.
“Yang terjadi adalah praktik oligarki. Orang berkuasa yang membuat keputusan terhadap pengelolaan BUMN ini adalah mereka yang mengambil manfaat langsung dari seluruh rencana yang dikerjakan. Mereka legislatif (Permen), mereka juga eksekutif, mereka juga pelaksana, dan yang paling buruk adalah mereka juga kontraktornya,” jelas Daeng.
Pemegang proyek yang merupakan penguasa dan pengusaha bisa dilihat dari mega proyek 35.000 MW, infrastruktur maupun proyek kilang Pertamina. Apalagi terkait holding tambang dan migas digunakan sebagai landasan mengambil utang jumlah besar.
“Oligarki ini mengambil kesempatan penting, BUMN yang dimandatkan UU tidak ubah perusahaan swasta lain. Mereka dipaksa mencari keuntungan, menyumbang pemasukan negara,” jelasnya.
Bank Mandiri merupakan salah satu bank terbesar dengan kepemilikan pemerintah sebesar 60,6%, sedangkan 39,4% dikuasai oleh investor asing. Total asset Bank Mandiri mencapai Rp1.124 triliun. Keuntungan perusahaan jatuh hampir separuh pada 2016 dibandingkan tahun 2015. NPL bank ini sangat buruk yakni berada pada posisi 4,0 (April 2017).
Dirinya menilai memburuknya keuangan Bank Mandiri karena pemberian pinjaman dari China untuk membeli saham Newmont Nusa Tenggara dan pembiayaan kereta cepat Jakarta-Bandung. Itulah mengapa Bank Mandiri baru-baru ini berencana akan menjual aset mereka dalam rangka menangani utang yang besar karena kegagalan investasi para taipan yang dibiayainya di sektor tambang.
Sebagaimana diketahui tahun 2016 lalu, tiga bank BUMN yakni Bank Mandiri, BNI, dan BRI “dipaksa” mengambil utang dari China untuk membiayai taipan Indonesia yang tengah sekarat. Pinjaman dari China Development Bank (CDB) senilai USD3 dolar dibagi-bagikan kepada taipan dan oligarkhi penguasa nasional. Dana pinjaman CDB oleh Bank Mandiri digunakan juga untuk membeli saham PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) sebuah perusahaan tambang yang mau tutup dan gagal mengembangkan operasinya di Nusa Tenggara Barat. Padahal sebelumnya pemerintah beralasan utang ke China adalah untuk membangun infrastruktur.
Selanjutnya Bank Negara Indonesia (BNI) memiliki utang sebesar Rp46,528 triliun. BNI total debt to equty ratio sebesar 85,16. Dana pemengang saham sebesar Rp109,607 triliun. Sebagian besar adalah pihak asing. NPL perusahaan berada pada batas mengkhawatirkan 3%.
Demikian pula halnya dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). BUMN ini memiliki utang paling besar dari jajaran bank BUMN yakni mencapai Rp83,783 triliun dengan Rp220 triliun lebih pemegang saham yang sebagian besar adalah asing. NPL perusahaan sangat buruk mencapai 5,61. Tampak sekali bank ini hendak dibangrutkan untuk dijual kepada asing dan taipan.
Bahkan di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang banyak menggunakan besi, perusahaan negara Krakatau Steel justru mengalami kerugian sebelum pajak di luar asosiasi alias anak usaha tercatat USD41,12 juta atau sekitar Rp555 miliar (kurs Rp 13.500).
Utang BUMN yang semakin besar akan menghilangkan kesempatan BUMN untuk mengabdi pada kepentingan bangsa, negara dan rakyat. BUMN di masa yang akan datang semakin sibuk mengurusi utang dan membebankan kewajiban tersebut kepada masyarakat. Caranya adalah dengan menaikkan harga barang dan jasa publik seperti menaikkan tarif dasar listrik, manaikkan tarif tol, menaikkan harga BBM, dan termasuk mencekik rakyat dengan bunga yang tinggi.
Sisi lain Pemerintah menyuntikkan dana melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). Suntikan dana PMN kepada BUMN tersebut tentu saja mengorbankan anggaran subsidi yang seharusnya diberikan kepada rakyat. Seluruh subsidi listrik, BBM dan layanan umum lainnya dihapuskan oleh pemerintahan ini sejak awal berkuasa. Akibatnya di tengah pesta pora oligarki penguasa, taipan dan asing yang meraup keuantungan dari mega proyek infrastruktur, daya beli masyarakat merosot, ketimpangan ekonomi meningkat, pengangguran dan kemiskinan justru makin bertambah.
Page 2:Utang, Ancaman dan Beban Bagi Generasi Anak-Cucu
Artikel ini ditulis oleh:
Eka