Proyek (Utang) Infrastruktur Ugal-Ugalan
Berbagai proyek infrastruktur yang menjadi program andalan pemerintah justru menjadi masalah ekonomi Indonesia. Selain menjadi beban APBN, proyek infrastruktur memaksa BUMN untuk berutang.
“Bukan kita anti utang, tapi infrastruktur harus ada multiplier effect. Bukan malah sudah jalan tapi bilang efeknya 5-10 tahun lagi, keburu Indonesia bubar,” beber Bhima.
Menurutnya, terdapat kontradiksi dalam data terkait dampak dari infrastruktur dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selama tiga tahun proyek infrastruktur berjalan, kata Bhima, pertumbuhan ekonomi justru stagnan di angka 5% saja. Selain itu, ia juga merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa lapangan kerja justru melorot di saat pemerintah gencar menjalankan berbagai macam proyek infrastruktur.
Pada aspek lain, seperti rasio gini atau tingkat ketimpangan, lanjutnya, memang mengalami penurunan. Hanya saja, Bhima menyatakan, penurunan indeks rasio gini di tanah air masih terbilang kecil, belum pada taraf yang memuaskan.
“Kemiskinan ada indeks kedalaman kemiskinan, itu juga semakin dalam kemiskinan kita. Jadi tidak bisa dilihat dari presentase saja. Ini ada apa?” sambung Bhima.
Tidak hanya itu, ia juga menyebut inkonsistensi pemerintah terkait konsep dan tujuan dari pengadaan proyek infrastruktur. Menurutnya, tujuan dasar dari pengadaan proyek infrastruktur sejatinya untuk menurunkan biaya logistik sehingga akan berdampak pada penurunan harga-harga barang dan pangan di dalam negeri.
“Yang dibangun justru infrastruktur yang tidak nyambung dengan logistik. Misalkan KA cepat Jakarta-Bandung, lalu apa urgensi membangun kereta ke bandara (Soekarno-Hatta)?” terangnya.
Karenanya, konektivitas yang diharapkan akan tercipta dengan proyek infrastruktur ini pun akan semakin sulit tercapai.
“Karena yang dibangun ini pemindahan orang dari titik A ke B, bukan barangnya atau logistik. Jadi infrastruktur yang dibangun ugal-ugalan saja,” jelasnya.
Senada dengan Bhima, terkait pembangunan infrastruktur, Ichsanuddin Noorsy menambahkan dasar yang digunakan pemerintah tidak jelas. Apakah itu development, public tools, atau comercial good. Noorsy menjelaskan bahwa dalam undang-undang tidak ada pembangunan infrastruktur public tools, kecuali ada pembangunan arteri.
“Seusai namanya, arteri mengalirkan darah dari jantung ke seluruh tubuh. Itu artinya, public tools. Saat ini pemerintah mengakui tidak ada pilahan mana public dan komersial. Itulah pintu masuk penjarahan. Jika kembali ditarik ke sumber, ada di APBN,” jelas Noorsy.
Pembangunan Infrastruktur tolak ukur bisa dilihat dari steel per kapita. Pasalnya pembangunan Infrastruktur membutuhkan dua komponen pokok, semen dan besi. Artinya jika pembangunan meningkat, seharusnya juga ada peningkatan konsumsi besi dan semen. BUMN semen dan BUMN besi tentu akan terkerek keuntungannya.
“Lalu kenapa BUMN Krakatau Steel sebagai perusahaan penghasil baja-besi justru merugi. Mereka memanipulasi, gila-gilaan, pembangunan meningkat tapi kok Krakatau Steel merugi Rp1,17 triliun,” tegas Noorsy.
Noorsy menilai Menteri BUMN Rini Soemarno benar-benar neolib sejati. Meskipun ada kyai bilang, dia bukan neolib. Pasalnya, dari proyek besi infrastruktur, ternyata banyak impor dari China. Logikanya, ada pihak yang memanfaatkan kelemahan aturan, yang memanfaatkan teknorat bersama pengusaha, yang menikmati partai politik dan individu. Itulah alasan kenapa Amerika Serikat (AS) memusuhi tiga negara seperti China dan Korea.
“Ada tiga negara yang dimusuhi AS, yaitu China, Korea dan Rusia karena secara ekonomi, berbagai produksi mereka masuk ke berbagai lini. Dan ternyata, kebutuhan besi dalam negeri impor dari China,” terangnya.
Moral hazard yang paling parah kata Noorsy terjadi di Garuda Indonesia dan Jasa Raharja dengan serve to debt rasio mencapai 174 persen. Kemudian Adhi Karya dan Pelindo III, padahal mereka menerima penghargaan CEO Terbaik.
“Selain itu, logika apa yang bisa diterima terkait satu harga BBM premium. Hingga hari ini yang terjadi adalah ‘lossing’ yang terus dinikmati mafia. Pemerintah menggeser kewajiban ke Pertamina, kemudian Pertamina membebankan ke masyarakat lewat penyesuaian harga, itu merupakan hakikatnya pemerintah cuci tangan, enjoy the power,” jelas Noorsy.
Dirinya pun mencoba berkali-kali mengingatkan pemerintah. Mulai 2014, BUMN merugi mencapai 230 perusahaan. Pada 2015, kerugian mencapai Rp11,7 triliun, hingga pada 2017 ada 24 BUMN merugi dengan nilai sekitar Rp5,8 Triliun, salah satu yang terbesar dari Garuda Indonesia.
Page 4: Bagi-Bagi Proyek Rini-Sofyan
Artikel ini ditulis oleh:
Eka