Polemik tentang hubungan sesama jenis, yang tercakup dalam isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) meramaikan media di Indonesia akhir-akhir ini. Sebetulnya secara sosial kehadiran kaum LGBT bukan hal baru di Indonesia. Sampai tahap tertentu, kehadiran kaum LGBT juga disadari dan ditolerir.

LGBT menjadi masalah dan isu yang panas, ketika timbul kesan bahwa gaya hidup LGBT ini seolah-olah akan “dipasarkan” meluas, dan bahkan akan mendapat pengesahan hukum. Antara lain, dalam bentuk pengakuan terhadap pernikahan sesama jenis, yang sudah ada presedennya di sejumlah negara lain. Di Indonesia, undang-undang belum memberi peluang, karena yang disebut “pernikahan” adalah antara laki-laki dan perempuan, bukan antara sesama laki-laki atau sesama perempuan.

Kampanye LGBT mendorong munculnya undang-undang antidiskriminasi, dan mengupayakan perubahan peraturan daerah yang mendiskriminasi LGBT. Undang-undang yang berpotensi menjadi sasaran perubahan dalam kampanye LGBT adalah UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan UU No.52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, terkait reproduksi. Ini juga terkait UUD 1945 Pasal 29 ayat 1.

Sejumlah komunitas, kelompok, dan individu tertentu dituding sebagai pelaku, penganjur, atau pendukung gaya hidup LGBT. Tuduhan itu umumnya berasal dari kalangan agama. Yang menarik, tudingan “pro-LGBT” itu bukan cuma ditujukan pada komunitas, kelompok, dan individu tertentu di Indonesia, tetapi juga menyasar ke lembaga internasional.

Salah satu lembaga yang jadi “tersangka utama” pendukung LGBT dan punya program untuk “memasarkan LGBT” di Indonesia itu adalah badan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), United Nations Development Programme (UNDP). UNDP menjalin kemitraan regional dengan Kedutaan Swedia di Bangkok, Thailand dan USAID (badan bantuan pemerintah Amerika Serikat) untuk mendukung komunitas LGBT.

Memajukan Kesejahteraan LGBTI

Bahkan dana sebesar 8 juta dollar AS (sekitar Rp 108 miliar) dikucurkan dengan fokus ke empat negara: Indonesia, China, Filipina, dan Thailand. “Inisiatif ini dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI), dan mengurangi ketimpangan dan marginalisasi atas dasar orientasi seksual dan identitas gender (SOGI),” bunyi pernyataan UNDP di situs resminya, 12 Februari 2016.

Yang dimaksud dengan interseks adalah variasi karakteristik kelamin (termasuk kromosom, gonad, dan alat kelamin), yang membuat seseorang tidak dapat diidentifikasi sebagai laki-laki atau perempuan. Variasi ini meliputi ambiguitas jenis kelamin dan kombinasi genotip kromosom dan fenotip seksual selain XY (laki-laki) dan XX (perempuan).

Prakarsa tersebut, menurut UNDP, merupakan kolaborasi dengan masyarakat sipil, yang melibatkan institusi-institusi nasional dan regional untuk memajukan hukum dan kebijakan protektif, serta memberdayakan masyarakat sipil. Dalam keterangan di situsnya, UNDP menyebutkan, proyek ini dimulai pada Desember 2014 dan berlangsung hingga September 2017.

Sebetulnya soal dana, Kementerian Sosial RI juga mengeluarkan dana Rp 2,5 miliar pada 2015 untuk rehabilitasi LGBT. Menurut data UNDP/Kemensos, sebaran LGBT pada 2015 ada 500 orang, yang berada di Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Namun data ini tampaknya belum menunjukkan angka nyata. Sedangkan sebaran waria di 34 provinsi pada 2012 ada 37.998 orang.

UNDP merinci beberapa tujuan dari proyek kemitraan regional ini. Salah satunya adalah mendukung kaum LGBTI untuk mengetahui hak-hak mereka dan mendapatkan akses ke pengadilan guna melaporkan pelanggaran-pelanggaran HAM. Hasil yang ingin dicapai dari proyek ini antara lain adalah meningkatnya kemampuan organisasi-organisasi LGBTI untuk secara efektif memobilisasi, menyokong, dan berkontribusi dalam dialog-dialog kebijakan dan aktivitas pemberdayaan komunitas.

Pertarungan di Majelis Umum PBB

Berbagai diskusi tentang hak-hak LGBT di PBB umumnya berpusat pada resolusi-resolusi di Majelis Umum PBB dan Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) tentang topik tersebut. Sejak didirikan pada 1945, PBB belum mendiskusikan hak-hak LGBT (tentang kesetaraan tanpa memandang orientasi seksual ataupun identitas gender) sampai Desember 2008.

Saat itu, dengan diprakarsai Belanda/Perancis, sebuah pernyataan yang didukung Uni Eropa dimunculkan di forum Majelis Umum PBB. Pernyataan itu, yang awalnya dimaksudkan untuk diadopsi sebagai sebuah resolusi, memicu munculnya pernyataan penolakan yang didukung Liga Arab. Hingga saat ini, kedua pernyataan yang pro dan kontra hak-hak LGBT itu tetap terbuka untuk ditandatangani, dan tak satu pun dari dua pernyataan itu yang sudah diadopsi secara resmi oleh Majelis Umum PBB.

Saat ini hubungan seks sesama jenis dinyatakan ilegal di 76 negara dan bisa dihukum mati di tujuh negara. Pada 1980-an, laporan-laporan awal PBB tentang penyebaran HIV/AIDS membuat beberapa acuan ke homoseksualitas. Sedangkan Indeks Kebebasan Manusia (Human Freedom Index) 1986 memasukkan pertanyaan spesifik, dalam menilai catatan hak-hak asasi manusia setiap negara, dalam kaitan keberadaan undang-undang kriminal yang melawan homoseksualitas.

Sejumlah 96 negara anggota PBB telah mensponsori deklarasi yang mendukung hak-hak LGBT di Majelis Umum, di UNHRC, dan di keduanya. Negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, Israel, Jepang, Korea Selatan, umumnya mendukung hak-hak LGBT. Tetangga Indonesia yang mendukung hak LGBT adalah Australia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Timor Leste.

Di antara mereka yang pertama menyuarakan penentangan terhadap deklarasi itu, pada awal Desember 2008, adalah Pengamat Tetap Tahta Suci (Vatikan) di PBB, Uskup Agung Celestino Migliore. Migliore mengklaim, deklarasi itu bisa digunakan untuk memaksa negara-negara untuk mengakui pernikahan sesama jenis.

“Jika diadopsi, deklarasi itu akan menciptakan berbagai diskriminasi baru dan sangat sulit dilawan. Misalnya, negara-negara yang tidak mengakui pengikatan sesama jenis sebagai ‘perkawinan’ akan dikecam dan dijadikan sasaran tekanan,” ujarnya.
Indonesia Konsisten Menolak

Sebanyak 57 negara anggota PBB secara bersama-sama mensponsori pernyataan yang menolak LGBT pada 2008. Tiga dari negara-negara ini kemudian berubah sikap, menjadi mendukung resolusi pertama yang mendukung hak-hak LGBT pada 2011. Maka tersisa 54 negara yang tetap mensponsori pernyataan yang menentang hak-hak LGBT.

Indonesia bersama Malaysia, Brunei, Iran, Pakistan, dan negara-negara Arab termasuk yang konsisten menolak. Selain yang mendukung dan menentang, ada 44 negara yang tidak menyatakan dukungan atau pun penolakan resmi, salah satunya adalah China.

Markas PBB sendiri, dalam pengisian jajaran karyawannya, punya sikap terhadap LGBT. Pada Juli 2014, lembaga ini mengumumkan bahwa PBB (sebagai majikan) akan memberikan tunjangan yang setara kepada para karyawannya, yang telah melakukan pengikatan seks sesama jenis (same-sex unions) dalam yurisdiksi di mana yurisdiksi itu bersifat legal. Di bawah kebijakan baru itu, staf yang sudah menikahi pasangan sesama jenis di dalam yurisdiksi akan menerima tunjangan yang sama, dan pengakuan sebagaimana pernikahan heteroseksual, tanpa mempedulikan apakah pernikahan sesama jenis itu legal di negara tempat asal kewarganegaraannya.

Sekjen PBB Ban Ki-moon mendukung langkah ke arah penghormatan yang lebih besar terhadap hak-hak kaum gay dalam tahun-tahun terakhir. Ia menyatakan, “Hak-hak asasi manusia adalah inti dari misi PBB. Saya bangga untuk mendukung kesetaraan yang lebih besar bagi seluruh staf, dan saya menyerukan pada semua anggota keluarga PBB kita untuk bersatu, dalam menolak homofobia sebagai diskriminasi, yang tak akan pernah ditolerir di tempat kerja kita.”

Februari 2016

Artikel ini ditulis oleh: