Adanya aturan PT sebanyak 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah Pemilu 2014 lalu sebagai syarat pengajuan pasangan Capres dan Cawapres dari Partai Politik (Parpol) atau gabungan Parpol peserta Pemilihan umum (Pemilu) 2019 tidak hanya merusak konsitusi, aturan ini dinilai dapat pula berindikasi menghasilkan politik pragmatis dan transaksional serta jual beli kursi menteri di kalangan peserta koalisi.

“Menentukan yang ideal betul kan rakyat beraneka ragam, juga bisa mengekpresikan melalui memilih calon yang banyak alternatif,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Ashidiqie beberapa waktu yang lalu.

Tentu saja PT dengan menggunakan hasil pemilu legislatif 4 tahun lalu, juga merusak iklim demokrasi dan merampas hak Parpol dalam mengajukan pasangan Capres Cawapres.

“Kalau mau ideal memang sebaiknya tidak ada threshold karena ini serentak. Kalau yang paling cocok buat demokrasi ya 0 persen,” kata dia.

Menurut Jimly yang harus dipahami bersama-sama bahwa gugatan yang meminta PT menjadi 0 persen, didasari dari konstelasi berbeda dengan pemilihan presiden periode sebelumnya, dimana saat itu tidak ada calon petahana. Sedangkan saat Pilpres 2019 nanti, Joko Widodo menjadi satu-satunya capres petahana.

“Kalau 2014 itu tidak ada petahana ya, beda dengan 2019. Maka MK bisa pertimbangkan dinamika baru, ada kesulitan dihadapi, kita tak bisa mengarahkan cepat kepada dua koalisi,” kata dia.

Menurut dia, permintaan PT 0 persen pun sejatinya tidak perlu ditakutkan Presiden Joko Widodo, sebab petahana bisa dimungkinkan menang dalam satu putaran.

“Jadi kepada calon petahana, itu (PT 0 persen) lebih baik untuk 2019 ini, lebih cepet dia menangnya, 1 ronde saja, dengan calonnya bisa 5 pasang. Maka mau 20 atau 0 persen itu sama aja,” kata Jimly.

Jokowi Tak Usah Takut

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby