Presiden Jokowi sendiri menimpali kalau adanya aturan ambang batas tersebut merupakan produk DPR.
“Ini produk demokrasi yang ada di DPR. Ini produknya DPR, bukan pemerintah,” kata Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu.
Ia berpendapat bila ambang batas pencalonan presiden berlaku nol persen lantas ada satu partai yang mengusung lantas mendapatkan kursi presiden, maka diprediksi partai itu akan kesulitan di parlemen.
“Coba bayangkan nanti di DPR. Kami dulu yang 38 persen (koalisi partai) saja kan, waduh,” kata Jokowi.
Di sisi lain, ia juga mempertanyakan partai-partai yang menolak presidential threshold saat ini tapi tidak mempermasalahkan saat 2009 atau 2014 lalu.
“Ingat. Dulu meminta dan mengikuti kok sekarang jadi berbeda,” kata dia.
Pernyataan Jokowi tersebut dinilai tidak jujur, terlebih melemparkan permasalahan ke DPR.
Sebab menurut Sekretaris Fraksi PAN Yandri Suanto, justru sejak awal pemerintah-lah yang mengusulkan draf UU Pemilu dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
“Tidak jujur juga Jokowi itu,” kata dia.
Bahkan, menurut Yandri, pemerintah ketika itu bersikukuh agar usulan presidential threshold itu disetujui. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sampai mengancam akan menarik diri dari pembahasan RUU Pemilu apabila DPR menolak ketentuan presidential threshold yang diajukan pemerintah.
“Presiden tidak perlu salahkan DPR dan jangan buang badan,” kata Anggota Pansus UU Pemilu ini.
Pada akhirnya, enam fraksi pendukung pemerintah, yakni PDI-P, Golkar, Nasdem, Hanura, PKB dan PPP menyetujui opsi presidential threshold yang diajukan pemerintah.
Sementara, PAN bersama Gerindra, Demokrat, dan PKS yang mendukung presidential threshold dihapuskan kalah suara. Akhirnya, mereka memilih walk out dalam pengambilan keputusan RUU Pemilu menjadi UU, Jumat (21/7/2017) dini hari.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby