Ketua Umum Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) Ahmad Himawan (kanan) dan Sekretaris Umum YKMI Fat Haryanto (kiri) memberikan keterangan pers dukungan Vaksin Halal pada bulan Ramadhan di Jakarta, Senin (18/4/22).

Jakarta, Aktual.com – Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) melayangkan Somasi Terbuka yang ditujukan kepada Presiden RI, Menteri Kesehatan RI, dan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN). Somasi Terbuka dilayangkan terkait Perihal Kewajiban Pemerintah RI Mematuhi Putusan Mahkamah Agung RI tentang Vaksin Halal.

Direktur Eksekutif YKMI, Ahmad Himawan mengatakan langkah hukum somasi kepada pihak-pihak terkait dari Pemerintah dilakukan karena sampai sekarang masih belum juga melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mewajibkan pemerintah menyediakan vaksin halal.

“Ini sudah banyak masyarakat yang melakukan mudik. Tetapi pemerintah masih saja bergerak lambat dalam menindaklanjuti putusan MA tersebut, dan terkesan adanya ketidakpatuhan karena Pemerintah masih berdalih tentang kondisi darurat yang membolehkan diberikannya vaksin yang tidak halal kepada masyarakat muslim di Indonesia,” kata Ahmad Himawan kepada wartawan, Sabtu (30/4/2022).

Sekretaris Eksekutif YKMI, Fat Haryanto mengingatkan Pemerintah supaya tidak mempermainkan putusan MA yang sudah sangat jelas, final dan mengikat. Jangan lagi mengatakan vaksin haram karena digunakan oleh negara Islam, lantas tetap digunakan di Indonesia. Kita punya kedaulatan sendiri dan sudah ada UU JPH yang mengaturnya.

“Putusan MA sudah sangat jelas, final dan mengikat. Pemerintah wajib menyediakan vaksin halal dalam program vaksinasi sesuai jumlah kebutuhan masyarakat muslim di Indonesia. Jangan lagi menggunakan dalih yang sudah ditolak oleh MA,” tegasnya.

Pembina YKMI, KH Jamaluddin F Hasyim ikut menambahkan jika Pemerintah masih tidak mematuhi Putusan MA, maka ini akan berdampak besar pada tatanan masyarakat Indonesia.

“Kemenkes jangan berdalih alasan darurat dan lainnya, untuk memasukkan vaksin haram ke tubuh umat Islam. Apalagi setelah adanya putusan MA yang berlaku final dan mengikat, itu sifatnya wajib (mandatori). Jangan sampai umat Islam membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional,” jelasnya.

Berikut isi somasi terbuka yang dilayangkan YKMI kepada pemerintah:

1. Bahwa Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 31 P/HUM/2022 tanggal 14 April 2022 secara tegas wajib memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan jenis Vaksin Covid-19 yang ditetapkan untuk program Vaksinasi Covid-19.

2. Bahwa semenjak Putusan MA tersebut diundangkan dan disahkan dalam Lembaran Negara, Pemerintah c.q Menteri Kesehatan Republik Indonesia masih tampak TIDAK MEMATUHI Putusan MA dimaksud.

3. Bahwa dalam Konfrensi Pers yang dibuat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada tanggal 26 April 2022, Juru Bicara Kemenkes masih menyatakan bahwa:

“Terkait program vaksinasi COVID-19, pemerintah berhasil menyediakan 6 regimen vaksin yang telah mendapatkan izin penggunaan darurat dari BPOM. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk segera bisa menyesuaikan berbagai kondisi kesehatannya dengan berbagai jenis vaksin yang tersedia. 6 regimen tersebut terdiri dari vaksin Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, Moderna, Johnson & Johnson, dan Sinopharm.

Regimen vaksin yang digunakan di Indonesia diperoleh dengan berbagai macam skema baik melalui pembelian langsung, kerja sama bilateral dan multilateral, skema hibah, dan COVAX Facility.

4. Bahwa pernyataan resmi Pemerintah RI c.q. Kemenkes tersebut adalah bisa dimaknai sebagai sikap ketidakpatuhan pada Putusan MA dimaksud, karena Pemerintah RI masih berdalih tentang kondisi darurat yang membolehkan diberikannya vaksin yang tidak halal kepada kaum muslimin Indonesia.

5. Bahwa dalil tentang “darurat” telah dibantah oleh Mahkamah Agung, maka program vaksinasi tidak lagi memenuhi syarat darurat, oleh karena itu Pemerintah RI wajib memberikan vaksin halal bagi kaum muslimin di Indonesia. Yang mana Kemenkes masih berdalih untuk memberikan vaksin yang tidak halal kepada umat Islam seperti: vaksin Astra Zeneca, Moderna, Pfizer, Janssen dan lainnya. Yang mana hal itu adalah bentuk pelanggaran hukum, jika diberikan kepada umat Islam di Indonesia.

6. Bahwa Pemerintah RI c.q Kemenkes masih membandingkan jenis vaksin yang digunakan di negara-negara luar, hanya untuk mencari-cari alasan penggunakan vaksin yang tidak halal bagi kaum muslimin di Indonesia. Ditegaskan bahwa Indonesia merupakan negara berdaulat, yang memiliki tata hukum pemerintahan yang berdaulat, maka dari itu Pemerintah RI c.q. Kementerian Kesehatan dan Satgas Covid-19 harus mematuhi dan menjaga kedaulatan tersebut, demi keutuhan dan kewibawaan bangsa dan negara Indonesia.

7. Bahwa sampai somasi ini dilayangkan, Pemerintah RI C.q. Kemenkes tidak merevisi satupun aturan hukum yang mengatur tentang program vaksinasi, terkhusus memberikan jaminan vaksin halal bagi kaum muslimin di Indonesia sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung tersebut. Ini membuktikan Pemerintah c.q. Kemenkes tidak mematuhi Putusan MA dimaksud. Sementara program vaksinasi dosis ketiga (booster) terus dilakukan dengan memberikan vaksin yang tidak halal kepada umat Islam di masa mudik Lebaran tahun 2022 ini.

8. Bahwa Satgas Covid-19 juga harus mematuhi Putusan MA dengan tidak memberikan pemaksaan kepada kaum muslimin Indonesia untuk mendapatkan jaminan vaksin halal di masa mudik Lebaran 2022, pasca keluarnya Putusan MA Nomor 31P/HUM/2022 yang mewajibkan jaminan vaksin halal bagi kaum muslimin.

9. Bahwa sampai sekarang Pemerintah tidak mengindahkan dan tidak mematuhi isi putusan MA setidaknya dibuktikan dengan masih juga tidak membatalkan kontrak-kontrak pengadaan Vaksin Covid19 yang tidak halal serta tidak membatalkan rencana menerima donasi vaksin covid 19 dari negara lain yang tidak halal dan segera akan kadaluarsa.

10. Bahwa kemerdekaan menjalankan ibadah dan agamanya adalah mutlak dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Yang mana hal itu memberikan kewajiban Pemerintah untuk memberikan jaminan vaksin halal bagi umat Islam.

11. Bahwa umat Islam diberikan kebebasan dan jaminan untuk menjalankan ibadah dan agamanya, termasuk diberikan jaminan untuk TIDAK mengkonsumsi barang-barang yang haram, sebagaimana ditegaskan dalam Al Quran dan Sunnah.

12. Bahwa jika pemerintah tidak mematuhi Putusan MA yang bersifat final dan mengikat tersebut, dengan tetap memberikan jenis vaksin yang tidak halal kepada kaum muslimin, maka telah terjadi pelanggaran hukum dan pelanggaran Hak Azasi Manusia, khususnya kepada umat Islam di Indonesia. Yang hal ini akan kami bawa pada MAHKAMAH INTERNASIONAL.

Berikut Amar Putusan MA Nomor 31 P/HUM/2022 tertanggal 14 April 2022

1. Mengadili permohonan hak uji materiil dari Pemohon: Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) tersebut;

2. Menyatakan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, sepanjang tidak dimaknai: “Pemerintah (Menteri Kesehatan, Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan), wajib memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan jenis Vaksin COVID-19 yang ditetapkan untuk pelaksanaan Vaksinasi Covid 19 di wilayah Indonesia”;

3. Menyatakan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “Pemerintah (Menteri Kesehatan, Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan), wajib memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan jenis Vaksin COVID-19 yang ditetapkan untuk pelaksanaan Vaksinasi COVID-19 di wilayah Indonesia”;

4. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Sekretariat Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara

5. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: A. Hilmi