Saat ini umat Islam Indonesia memasuki minggu pertama ibadah puasa dalam bulan suci Ramadhan. Segala hal yang berkaitan dengan syiar keislaman, ghirah keagamaan, dan aktivitas amal ibadah, akan menjadi perhatian umat. Salah satu aspek syiar keislaman, yang sekaligus juga bisa menjadi amal ibadah, adalah implementasi sistem keuangan syariah.
Bukan kebetulan, pada 14 Juni 2015, Presiden Joko Widodo membuka kampanye Aku Cinta Keuangan Syariah (ACKS) di Jakarta. Hadir pada acara itu Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad.
Presiden pada acara itu secara tegas menyatakan, peran keuangan syariah itu strategis dalam pembangunan nasional. Maka, pemerintah memandang perlu memberikan perhatian khusus pada sektor ini.
Kata Presiden Jokowi, Indonesia adalah negara dengan lembaga keuangan mikro terbesar di dunia, negara penerbit sukuk terbesar, serta satu-satunya negara yang menerbitkan sukuk ritel. Semua ini merupakan potensi besar keuangan syariah, yang semestinya terus dikembangkan. Jika semua hal itu didorong, Indonesia akan menjadi pusat keuangan syariah global.

Butuh tindakan konkret

Seruan Presiden Jokowi bukan hal baru, karena Susilo Bambang Yudhoyono, ketika masih menjabat Presiden RI juga telah menyuarakan hal yang sama. Pada 17 November 2013, SBY meresmikan Gerakan Ekonomi Syariah (Gres) dan saat itu Jokowi juga hadir sebagai Gubernur DKI Jakarta. Waktu itu SBY menyatakan dukungan pada keuangan syariah, dan ia juga yakin bahwa Indonesia akan menjadi pusat sistem keuangan syariah.
Semoga saja, ucapan para tokoh nasional itu bukan basa-basi, karena yang dibutuhkan sekarang untuk mengembangkan keuangan syariah bukanlah retorika. Yang dituntut dari mereka adalah tindakan konkret, dikeluarkannya undang-undang, atau kebijakan resmi, yang betul-betul berdampak positif pada implementasi sistem ekonomi syariah.
Jadi sebaiknya kini kita bicara tentang data dan fakta saja. Per Maret 2015, menurut Muliaman D. Hadad, industri perbankan syariah Indonesia terdiri dari 12 bank umum syariah, dengan 22 unit usaha syariah yang dimiliki bank umum konvensional, dan 163 BPRS. Total asetnya mencapai Rp 264,81 triliun dengan pangsa pasar 4,88 persen.
Sedangkan jumlah pelaku industri keuangan nonbank syariah ada 98 lembaga di luar lembaga keuangan mikro. Mereka terdiri atas asuransi syariah yang mengelola aset Rp 23,80 triliun. Selain itu, usaha pembiayaan syariah dengan aset Rp 19,63 triliun serta lembaga keuangan syariah lainnya dengan aset Rp 12,86 triliun. Jadi totalnya, pangsa pasar industri keuangan nonbank syariah 3,93 persen dibandingkan total aset industri keuangan nonbank secara umum.
Sementara itu, aset instrumen investasi di pasar modal syariah antara lain sukuk negara, sekitar Rp 290 triliun, sukuk korporasi Rp 7,1 triliun, saham syariah Rp 3.037,46 triliun, dan reksa dana syariah yang mencapai Rp 11,7 triliun.
Bank-bank syariah di Indonesia memang tumbuh, namun menurut pengamat ekonomi syariah Agustianto Mingka, sekarang ini bank konvensional tumbuh lebih cepat, bahkan ada yang 30 persen. Pangsa syariah jalan di tempat atau terjadi penurunan, dari 4,9 persen menjadi 3,8 persen karena bank syariah sebenarnya tumbuh, tetapi pertumbuhan bank konvensional lebih tinggi dari syariah.

Tertinggal dari Malaysia

Perihal jasa keuangan syariah, Indonesia juga tertinggal dari Malaysia dan negara-negara di Timur Tengah. Berdasarkan data OJK, aset perbankan dan industri keuangan non-bank (IKNB) syariah hingga akhir 2014 sekitar Rp 329,84 triliun atau 24,8 miliar dollar AS (berdasarkan nilai tukar Rp 13.300 per dollar AS).
Sedangkan merujuk data Islamic Finance Development Report, aset industri keuangan syariah Malaysia mencapai 411,51 miliar dollar AS pada 2012. Adapun aset serupa di Arab Saudi dan Iran masing-masing 269 miliar dollar AS dan 185 miliar dollar AS. Singkatnya, kondisi keuangan syariah Indonesia belum optimal, meskipun potensinya besar.
Tak bisa tidak, di sini dituntut adanya intervensi, dukungan, sekaligus pemihakan oleh pemerintah. Jika ada dukungan serius dari pemerintah, diharapkan tahun 2015 ini menjadi tahun peningkatan atau kebangkitan kembali keuangan syariah. Diharapkan, pangsa pasar syariah minimal bisa melewati angka psikologis 5 persen.
Optimalisasi peran pemerintah dalam mendukung industri keuangan syariah, baik pemerintah pusat maupun daerah perlu ditingkatkan. Diharapkan, kata Agustianto, pemerintah nanti bisa memberikan kebijakan yang menetapkan dana-dana pemerintah di bank-bank syariah. Jika hal ini dilakukan, seperti sudah dibuktikan oleh negara jiran Malaysia, dampaknya pasti sangat signifikan bagi perkembangan bank syariah.
Bahwa pangsa pasar bank syariah belum menembus 5 persen, hal ini terkait dengan berbagai kendala yang harus diatasi. Menurut Direktur Keuangan dan Strategi BSM, Agus Dwi Handaya, banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan bank syariah.
Perbankan syariah juga punya banyak unsur, yakni regulator, pelaku, ulama, peradilan agama, dan pengawas syariahnya. Masing-masing pemangku kepentingan punya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, baik untuk sendiri maupun pekerjaan rumah yang saling terkait. Apalagi sudah ada peta jalan perbankan syariah dari OJK.
Pengembangan ekonomi dan keuangan syariah memang diharapkan dapat memberi kontribusi besar. Yakni, pengembangan itu akan mendorong kemajuan perekonomian serta mengoptimalkan potensi ekonomi nasional dan daerah, dengan tujuan akhir peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Depok, 15 Juni 2015

e-mail: arismunandar.satrio@gmail.com

Artikel ini ditulis oleh: