Osman Sapta. Aktual/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Sebuah diskusi soal rangkap jabatan seorang penyelenggara negara digelar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada tiga narasumber yang jadi pembicara dalam diskusi tersebut.

Ada Ketua KPK, Agus Rahadjo, anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih dan Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara, Waluyo.

Diskusi pun berjalan hingga memasuki tahap tanya-jawab. Pertanyaan pertama seorang peserta diskusi dilontarkan, tak lain merujuk pada rangkap jabatan yang dimiliki Ketua Umum Partai Hanura, Osman Sapta Odang.

Pengusaha yang kerap disapa OSO itu diketahui selain menjabat sebagai Ketum Hanura, juga mengemban tugas sebagai Ketua DPD dan Wakil Ketua MPR RI.

Menurut anggota Ombudsman, Alamsyah, rangkap jabatan yang dimiliki OSO sudah melanggar etik bernegara. Meski memang tidak ada aturan di Undang-Undang MD3 yang melarang Ketua DPD atau Wakil Ketua MPR memiliki jabatan politik lain.

Tapi tetap, sambung dia, jika pihak MPR dan DPD tahu cara beretika negara yang baik mereka tak akan diam dengan situasi yang melekat pada diri OSO.

“Kalau itu wilayah etik bernegara, iya institusinya nggak boleh diam, MPR, DPD. Etiknya harus bekerja. Dalam rangkap jabatan saya nggak tahu apa penghasilan juga rangkap lagi. Tapi, sekelas OSO kecil-lah itu. Esensinya kan bahaya. Tentu menurut saya harus segera lepas yang begitu,” papar Alamsyah, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (4/5).

Bukan tanpa alasan mengapa rangkap jabatan penyelenggara negara, tak hanya untuk OSO, tapi juga yang lain, menjadi polemik.

Kata Alamsyah, tentu dengan rangkap jabatan seperti OSO, potensi konflik kepentingan sangat besar. Maka dari itu hal ini harus juga diatur. Salah satu upaya bisa dengan memperbaiki UU tentang Kepartaian.

“Kedua untuk partai, harusnya secara normatif UU partai menegaskan, ini harus diperbaiki. Waktu itu kita melhat presiden merangkap ketua umum sementara partai. Kalau bicara dari etik saja itu sudah tidak patut,” terangnya.

(Zhacky Kusumo)

Artikel ini ditulis oleh: