Presiden Joko Widodo. (ilustrasi/aktual.com)
Presiden Joko Widodo. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Sistem ekonomi liberalisme dalam perekonomian nasional sepertinya sudah sangat melekat. Padahal saat kampanye dulu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusung konsep Tri Sakti dan Nawacita dalam membangun perekonomian nasional.

Tapi sampai saat ini, menjelang perayaan 71 tahun kemerdekaan Indonesia, perekonomian nasional bukannya berpihak terhadap rakyat kecil. Untuk Jokowi diminta berkaca kepada sistem perekonomian ala Presiden pertama, Soekarno atau Bung Karno.

“Saat ini yang terjadi, selain kita terbelit utang luar negeri yang mencapai menjadi 318,92 miliar dolar AS, kita juga dibanciri pekerja asal China bersamaan dengan investasi China dalam berbagai bidang,” ungkap pengamat ekonomi politik Ichsanuddin dalam catatan refleksi 71 tahun kemerdekaan Indonesia kepada Aktual.com, Jumat (12/8).

Padahal saat ini, kata dia, tingkat pengangguran di Indonesia, dengan indikator bekerja dua jam dalam seminggu belum terselesaikan. Begitu juga dengan kemiskinan yang mencapai sekitar 29 juta jiwa. Saat yang sama rasio Gini (ketimpangan sosial) mencapai 0,40.

“Lalu, kalau kinerjanya seperti ini, maka buat siapa kita kerja nyata?” sindir Ichsan.

Untuk itu, Jokowi diminta berkaca pada ketegasan Bung Karno dalam mengelola perekonomian waktu itu. “Saya teringat protes Bung Karno kepada Belanda saat memindahkan tenaga kerja perkebunan dari Jawa ke Sumatera pada 1920-1945,” cerita dia.

Bahkan, Bung Karno juga protes keras atas hasil Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949 yang salah dua syaratnya, memberi kebebasan perusahaan asing beroperasi dan mewajibkan Indonesia tunduk pada International Monetary Fund (IMF).

“Tahun 1956, saat itu Bung Karno menguraikan bahwa ternyata kemerdekaan Indonesia belum membawa Indonesia makin sejahtera. Ini disebabkan pendapatan per kapita penduduk saat itu yang menurun dari 32 gulden sebelum kemerdekaan menjadi 28 gulden pada 1955,” urainya.

Untuk itu, dirinya mempertanyakan hasil kemerdekaan saat ini. Karena, di 71 tahun Indonesia Merdeka, apakah rakyat makin sejahtera? Jika ukurannya pendapatan per kapita, nampaknya membaik. Walau pun memang tetap berada di posisi negara berpendapatan kelas menengah bawah sejak 1980m

“Akan tetapi, jika ukurannya kemerdekaan semua lini kehidupan, membaiknya modal sosial, membaiknya tingkat pendidikan dan kesejahteraan lahir batin, meningkatnya harkat martabat bangsa dalam pergaulan internasional, tentu kita belum merdeka,” kritik dia.

Dalam bahasa yang lain, ia menambahkan, dominannya asing secara struktural pada penguasaan sumber daya, dalam cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan pada mata rantai logistik, jelas rakyat Indonesia sedang bekerja untuk mereka. Karena investasi asing membuat mereka makin kuat cengkeramannya.

“Jadi, jika menggunakan istilah akademik, besarnya utang luar negeri dan dominannya pihak asing saat ini, menunjukkan tegak dan berlakunya sistem perbudakan modern,” cetus dia.

Sistem ini, tandas Ichsan, telah memberi bukti, hasil kerja terbesar rakyat Indonesia dinikmati oleh mereka. “Sedangkan kita, sang pemilik sumberdaya dan pasar mendapat yang tersisa,” ucap dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan