Sidang lanjutan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (20/7/2016). Sidang kali ini mendengarkan keterangan saksi dari pegawai Kafe Olivier,saksi Cindy yang merupakan penerima tamu di Kafe Olivier dan memutar rekaman cctv.

Jakarta, Aktual.com – Pengacara kondang Hotman Paris menjadikan putusan Mahkahah Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU-XIV/2016 sebagai dasar untuk menyatakan bahwa rekaman CCTV Cafe Olivier tidak dapat dijadikan alat bukti kasus kematian Wayan Mirna Salihin.

Sebab, dalam putusannya MK mengatakan bahwa dokumen elektronik dan transaksi elektronik bisa dikategorikan sebagai alat bukti jika dilakukan atas permintaan penegak hukum.

Sedangkan menurut Hotman, keputusan untuk menjadikan rekaman CCTV Cafe Olivier bukan atas permintaan penegak hukum.

“Ternyata CCTV Cafe Olivier dibuat bukan atas permintaan penyidik. Maka sesuai putusan MK, CCTV Cafe Olivier tidak sah sebagai alat bukti,” papar pengacara Hotman Paris dalam rilisnya, Kamis (6/10).

Sementara itu, dalam putusan MK menyatakan bahwa informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE, harus atas permintaan penegak hukum.

Dalam putusannya MK juga menyatakan bahwa informasi dan dokumen elektronik tidak memiliki kekuatan hukum jika tidak dilakukan atas permintaan penegak hukum. Kutipan putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 dimaksud adalah :

‘Frasa ‘Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik’ dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa ‘Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik’ sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE’

Lantas apakah putusan ini bisa membenarkan pendapat dari Hotman? Kita pun harus melihat kronologis sebelumnya hingga akhirnya putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 disahkan.

Untuk diketahui, putusan MK itu ditetapkan atas permohonan uji materi terhadap UU ITE yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, yang tersandung kasus dugaan pemufakatan jahat bersama dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin.

Kasus itu ditangani oleh Kejaksaan Agung. Dalam penyidikannya Kejagung hanya memiliki alat bukti yang tak lain adalah rekaman pembicaraan antara Setya dengan Maroef.

Inilah yang kemudian menjadi penyulut diajukannya permohonan uji materi terhadap UU ITE, khususnya Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b.

Setnov, sapaan Setya, menganggap rekaman pembicaraan antara ia dengan Maroef tidak bisa dijadikan alat bukti. Pasalnya, rekaman itu dilakukan tanpa persetujuannya. Rekaman itu juga dilakukan atas inisiatif Maroef.

Dalam permohonan uji materi UU ITE, Setnov juga memasukan pendapatnya saat mengajukan permohonan terhadap UU ITE. Secara jelas dinyatakan oleh Setnov bahwa yang diuji ialah informasi elektronik berupa rekaman, bukan CCTV.

(M Zhacky Kusumo)

Artikel ini ditulis oleh: