Pilkada DKI memang usai. Uniknya, kenapa viral isu tuntutan janji bagi pemenang Pilkada kok justru down payment (DP) 0 percent untuk perumahan? Bacaan geopolitik justru viral isu tersebut merupakan salah satu trik deception (penyesatan). Kenapa?
Sebab yang utama sesungguhnya adalah membatalkan reklamasi 17 pulau sesuai janji si pemenang, karena reklamasi merupakan metode utama Cina dalam rangka meluaskan ruang hidupnya di Indonesia. Agaknya, Cina dan para kompradornya di tanah air kita tercinta, berusaha dengan segala cara, agar Reklamasi Teluk Jakarta tetap bisa diteruskan.
Begitulah pandangan tersebut disampaikan oleh M Arief Pranoto, pengkaji geopolitik dan direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI), dalam presentasinya di dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan GFI Selasa (02/05).
Dalam bacaan Arief Pranoto, ada ajaran geopolitik bahwa manusia butuh negara, dan negara butuh ruang hidup (living space atau lebensraum). Tatkala muncul klaim sepihak terhadap perairan Natuna dan perairan beberapa negara lain di Laut China Selatan (LCS) oleh Negeri Tirai Bambu dengan mengabaikan UNCLOS 1982, misalnya, langkah hina tersebut adalah dalam rangka memperluas ruang hidup terutama mengamankan rute dan jalur distribusi energinya. Energy security.
Atau ketika Cina berencana membelah Kra Thailand, ataupun membangun Terusan Nikaragua, dan lain-lain. Itulah inti teori geopolitik yang melandasi OBOR-nya Xi Jinping mengurai serta memperluas living space atau lebensraum.
“Inilah mengapa Cina sangat bernafsu membangun berbagai infrastruktur baik pelabuhan laut maupun bandara udara di republik tercinta ini. Betapa selain alasan ekonomi — Indonesia merupakan lintasan Sealane of Communications (SLOCs) yaitu jalur perdagangan dunia yang tidak pernah sepi akibat posisi silang di antara dua benua dan dua samudera.
Juga infrastruktur tersebut dapat diubah sebagai fasilitas militer jika nantinya meletus friksi terbuka dengan Amerika sesuai ramalan Huntington,” demikian analisis Arief Pranoto yang tiga bulan lalu bersama Hendrajit baru saja menerbitkan buku baru bertajuk “Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru.”
Dalam diskusi terbatas yang dihadiri berbagai kalangan akademis dan berbagai komponen pemuda dan mahasiswa dan menerapkan model Focus Group Discussion (FGD), sempat mencuat beberapa poin menarik. Antara lain, bahwa ide Reklamasi Teluk Jakarta tidak bisa dilepaskan dari gagasan Presiden Cina Xi Jinping, One Belt One Road (OBOR).
Dengan makna lain, Jinping melalui kebijakan OBOR, mencari ruang hidup baru bagi warga negaranya akibat “ledakan penduduk” di China Daratan. Pertanyaan menarik selanjutnya, Mengapa Cina bernafsu membangun infrastruktur di Indonesia?
Menurut penelisikan tim riset Aktual, kebijakan OBOR berasald doktrin maritim Cina, String of Pearl. yaitu strategi Cina guna mengamankan jalur ekspor-impor terutama suplai energi (energy security) dari negara dan/atau kawasan asal hingga ke kawasan tujuan.
Target jalur yang diincar ialah bentangan perairan dari pesisir Laut Cina Selatan, Selat Malaka, melintas di Samudera Hindia, Laut Arab, Teluk Persia, dan lainnya sehingga bila dilihat dalam sebuah peta seperti untaian mutiara (Pearls).
Kebijakan dan strategi ini, selain mengandung konsekuensi dibutuhkannya militer modern progresif, juga perlu akses lapangan terbang dan/atau pelabuhan-pelabuhan laut sebagai penyangga. Dan sudah barang tentu, kelak infrastruktur ini dapat diubah menjadi fasilitas militer.
Menanggapi simpul-simpul pemikiran yang berkembang dalam forum diskusi, Arief Pranoto seperti juga sudah dia tulis dalam makalahnya yang sudah dipublikasikan secara luas, menandaskan bahwa ada beberapa infrastruktur yang telah berdiri di Jalur OBOR seperti di Pulau Hainan; atau landasan terbang darurat di Pulau Woody, Kepulauan Paracel; fasilitas pengiriman kontainer di Chittagong, Bangladesh; pembangunan pelabuhan di Sittwe, Myanmar; pembangunan basis angkatan laut di Gwadar, Pakistan; pipa melalui Islamabad dan Karakoram Highway ke Kashgar di Xinjiang; fasilitas pengumpulan intelijen di pulau-pulau di Teluk Benggala dekat Selat Malaka, serta pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, dan lain-lain.
Lebih lanjut Pranoto memaparkan. Secara fisik, kendala utama implementasi String of Pearls adalah bercokolnya kapal-kapal perang Amerika Serikat (AS) dan sekutu (Armada ke 7 Amerika) di Singapura. Artinya, jika kelak terjadi friksi terbuka antara AS versus China sesuai ramalan Samuel P Huntington dalam buku The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia) maka bakal terjadi hambatan bagi hilir mudik kapal-kapal China di Selat Malaka. Kenapa? Karena 80-an percent suplai energi China melalui Selat Malaka.
Menghadapi kendala tersebut, secara cerdas, Jinping melahirkan OBOR sebagai penyempurnaan String of Pearls. Dan tak boleh disangkal, OBOR merupakan langkah antisipatif Cina jika kelak Selat Malaka diblokade oleh Paman Sam.
Kenapa demikian, bahwa salah satu jalur OBOR —sebab tidak ada jalan lain— adalah melintas di selat-selat dan perairan Indonesia. Inilah alternatif jalur paling singkat menuju Samudera Hindia, Laut Arab, dan lain-lain guna mengamankan suplai energi China sesuai rute String of Pearls sebelumnya.
Makanya dulu ia sangat bernafsu menjadi investor tunggal ketika pemerintah —zaman SBY— hendak membangun Jembatan Selat Sunda. Kalau jadi, maka itu yang disebut berkah bagi Cina tetapi bencana ‘geopolitik’ bagi Indonesia. Simpul-simpul transportasi strategis kok mau diserahkan kepada asing?
Mungkin inilah jawaban kenapa Cina sangat bernafsu membangun berbagai infrastruktur baik pelabuhan laut maupun bandara udara di republik tercinta ini. Betapa selain alasan ekonomi — Indonesia merupakan lintasan Sealane of Communications (SLOCs) yaitu jalur perdagangan dunia yang tidak pernah sepi akibat posisi silang di antara dua benua dan dua samudera, juga infrastruktur tersebut dapat diubah sebagai fasilitas militer jika nantinya meletus friksi terbuka dengan Amerika atau negara manapun yang kelak jadi musuh Cina.
Hendrajit