Aksi tersebut digelar dalam rangka Hari Tani Nasional dan menolak segala bentuk perampasan tanah, tolak segala bentuk kekerasan terhadap para petani, laksanakan Reforma Agraria. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Selama lima hari ke depan, pemerintah akan mengikuti perundingan ASEAN-Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) ke-15 di Tianjin, China.

Perundingan ini bakal menjadi sinyal keterpinggiran petani nasional dari ancaman pasar bebas (free trade area/FTA). Untuk itu, pemerintah diminta serius melindungi petani dari ancaman FTA, terutama dari ASEAN-RCEP. Dengan cara menyusun strategi perlindungan yang tepat bagi petani.

“Perjanjian RCEP akan mengancam kedaulatan petani melalui pengaturan perlindungan hak kekayaan intelektual khususnya mengenai benih,” jelas Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, Rachmi Hertanti yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi, melalui keterangan yang diterima, Senin (17/10).

Perundingan ini akan berlangsung pada 17-21 Oktober 2016 yang terdiri dari 10 negara ASEAN dengan enam rekan dagang terbesarnya, yaitu Australia, China, India, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan.

Perundingan ini akan rampung hingga akhir tahun ini yang memuat tak hanya soal isu perdagangan, tapi juga mengatur mengenai hak kekayaan intelektual, yang salah satu isu pentingnya adalah tentang kedaulatan petani atas benih.

“Banyak petani kita yang sudah mengalami kriminalisasi akibat pengaturan HAKI ini,” cetusnya.

Apalagi memang, kata dia, RCEP ini bakal kembali mengkriminalisasi petani jika Pemerintah Indonesia tidak menyusun strategi yang tepat dalam perundingan FTA yang sedang dilakukan oleh Pemerintah pada hari ini.

Menurutnya, selama ini proses perundingan FTA, khususnya di skema RCEP, sangat tertutup dan tidak demokratis. Untuk itu, pemerintah harus membuka ruang demokratisasi agar lebih transparan.

“Karena publik berhak tahu isi dari perjanjian yang dirundingkan itu. Proses konsultasi publik harus dibuka seluas-luasnya, agar publik bisa memberikan masukan untuk memperkuat strategi perundingan pemerintah,” imbuh dia.

Ketua Umum Aliansi Petani Indonesia, Muhammad Nurudin menegaskan, dari bocoran teks yang didapat dari Wikileaks terungkap bahwa RCEP akan mewajibkan negara anggotanya untuk meratifikasi UPOV 1991 (International Union for the Protection of New Varieties of Plant 1991).

UPOV 91 ini akan mengharuskan pemerintah untuk melindungi pemilik paten (atau jenis sertifikat lain) selama 20 hingga 25 tahun, termasuk yang ada dalam ranah benih, ekosistem, dan keanekaragaman hayati.

“Kewajiban UPOV 91 dalam RCEP akan menguatkan monopoli penguasaan benih oleh korporasi. Bahkan, UPOV 1991 akan melarang hak pengembangan benih oleh petani atas dasar pelanggaran hak kekayaan intelektual,” papar Nurudin.

Sebagai catatan, kata dia, per hari ini sebanyak 90% perdagangan benih telah dikuasai oleh hanya lima korporasi multi nasional.

Koalisi menilai pengaturan FTA yang luas ini akan menimbulkan potensi dampak yang luas terhadap ruang-ruang kebijakan publik, khususnya kebijakan pangan dan kedaulatan petani.

Sehingga, Rachmi menambahkan, sangat penting mendesak pemerintah untuk segera mengkaji kembali dampak dari bebagai upaya liberalisasi atas pangan melalui perjanjian perdagangan bebas termasuk RCEP.

“Tak hanya dari segi ekonomi, melainkan juga kajian dampaknya terhadap pemenuhan dan perlindungan HAM, khususnya pada aspek hak atas ekonomi, sosial, dan budaya (Ecosoc Rights),” cetus dia.

Mengacu pada dampak luas CEPA, RCEP, dan TPP terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat dan membatasi ruang-ruang kebijakan publik, maka sudah sepantasnya segala keputusan Pemerintah terkait pengikatan Indonesia ke berbagai perjanjian perdagangan internasional harus melibatkan publik, khususnya kelompok masyarakat sipil dan komunitas terdampak.

Berdasar data dari Koalisi, pemerintah semakin gencar meningkatkan impor berbagai komoditas pangan, sepanjang tahun 2016 ini. Menko Perekonomian Darmin Nasution sendiri kerap menyebutkan, pemerintah melakukan impor jagung 2,4 juta ton dan 3,2 juta ton gula mentah dan masih banyak lagi.

Padahal, menurut Koalisi, kewajiban pemerintah tidak selesai pada soal penyediaan semata, melainkan perlu mencari strategi dalam penguatan kedaulatan pangan negara.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan