PT PLN dikabarkan akan melakukan penyeragaman tarif dasar listrik (TDL) untuk kalangan penerima non subsidi. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Dua problem besar yang kini membelit PT PLN (Persero) adalah pembelian listrik dari pembangkit swasta dan batu bara. Muara kedua masalah itu sama, harga yang kelewat tinggi.

Tingginya harga listrik dari pembangkit swasta benar-benar menguras pundi-pundi PLN. Begitu juga dengan harga batu bara. Harga batu bara yang selama enam-tujuh bulan ini terus naik memaksa PLN merogoh kocek lebih dalam lagi. Tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp10 triliun lebih. Tentu saja kondisi ini memberi tekanan lumayan dahsyat pada keuangan perusahaan.

Dirut PLN Sofyan Basir bukannya tidak berupaya menyiasati kontrak listrik swasta. Dia minta negsosiasi ulang harga dengan swasta. Namun upaya tersebut selalu saja kandas karena langkahnya dianggap menodai kesucian kontrak. Bukan itu saja, jika dia tetap ngotot, maka mantra yang ditebar pengusaha dan para pengamat adalah, mengutak-atik kontrak akan menimbulkan ketidakpastian usaha.

Untungnya, Pemerintah seperti memahami kesulitan PLN. Pada 3 November 2017, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andy Noorsaman Sommeng melayangkan surat ke Sofyan. Isinya, dia minta PLN meninjau ulang kembali kontrak atau perjanjanjian jual beli setrum. Untuk sementara, tinjau ulang diutamakan untuk pembangkit sekala besar di Jawa. Meski begitu, surat tidak membatasi PLN jika bermaksud merenegosiasi kontrak-kontrak listrik swasta di luar Jawa.

Jadi vitamin

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Surat Noorsaman tadi menjadi vitamin bagi PLN untuk duduk di meja perundingan dengan produsen listrik partikelir. Sofyan dan jajarannya jadi lebih pe-de alias percaya diri melakukan tawar-menawar. Tentang dogma mengutak-atik kontrak bakal memantik ketidakpastian usaha, sudah ada pamungkasnya. “Ini perintah dari Pemerintah,” begitu Sofyan menimpali, barangkali.

Menurut Noorsaman, saat ini sudah ada dua pembangkit yang sepakat merevisi power purchase agreement (PPA). Yang pertama PLTU Tanjung Jati Jawa 3 berkapasitas 2×660 MW. Kedua, PLTU Cirebon Expansion dengan kapasitas 1×1.000 MW. Harganya sudah deal, dari di atas US$ cents 6/Kwh menjadi US$ cents 5,5/KwH. Tinggal menunggu tandatangan revisi PPA.

Sejatinya, sebelum surat Dirjen Ketenagalistrikan terbit. Sofyan memang sudah lama pasang wajah garang terkait pembelian listrik dari swasta. Dia menilai harga yang dibayar PLN selama ini kelewat mahal. Itulah sebabnya pria betubuh tambun itu terobsesi menekan harganya hingga ke tingkat wajar. Artinya, swasta tetap mengantongi margin yang memadai tanpa harus menguras kocek PLN.

Menekan harga pembelian listrik swasta memang jadi hal krusial bagi PLN. Bayangkan, tiap penurunan US$ cents 1/KwH bakal menghemat fulus PLN hingga Rp1 triliun/1.000 KwH. Padahal, swasta dapat jatah membangun 25.000 MW dalam program listrik 35.000 MW sampai 2019. Artinya, PLN bakal bisa menekan biaya dari sini hingga Rp25 triliun/tahun.

Mark up dan KKN

Sekitar 17 tahun silam, apa yang kini dilakukan PLN juga pernah terjadi. Waktu itu, Menko Perekonomian Rizal Ramli yang menjadi tokoh sentral penurunan harga beli listrik PLN dari swasta. Semua bermula dari upaya Presiden Soeharto mengundang swasta untuk masuk ke bisnis pembangkit listrik untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan tenaga listrik.

Kebijakan ini melahirkan sedikitnya 27 proyek listrik swasta. Sejumlah perusahaan listrik kelas dunia terlibat di dalamnya. Antara lain dari Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Jerman. Guna memuluskan binsis, perusahan-perusahaan asing itu menggandeng keluarga dan atau kroni Soeharto.

Pada 1996 mereka meneken PPA dengan PLN. Tapi harga jual energi listriknya ternyata sangat gila-gilaan, antara US$ cents 7-9 per kWh. Padahal, harga listrik swasta di negara-negara Asia lainnya waktu itu cuma sekitar US$ cents 3,5 per kWh.

Jika berpegang pada kontrak-kontrak tersebut, PLN pasti terkapar. Kemampuan keuangan PLN saat krismon sangat jeblok. Pada semester pertama 2000 saja, PLN rugi Rp11,58 triliun. Tahun 2001, kerugian PLN diproyeksikan melambung hingga Rp24 triliun. PLN pun melempar handuk putih, menyerah.

Begitu diangkat menjadi Menteri Koordinator Perekonomian pada Agustus 2000, Rizal Ramli langsung menjadikan pembenahan listrik swasta sebagai prioritas utama. Kemelut listrik swasta berpotensi menambah beban utang Indonesia US$80 miliar lagi. Padahal, karena krismon utang luar negeri Indonesia tiba-tiba melonjak drastis, mencapai US$160 miliar. Secara teknis Indonesia bisa bangkrut.

Menyadari gawatnya persoalan, Rizal Ramli bergerak cepat. Dia sadar betul, ini tidak akan mudah. Pasalnya, harga listrik swasta yang menjulang terjadi karena  penggelembungan biaya dan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).  Perusahaan-perusahaan listrik multinasional tidak gratis memberi saham kosong kepada keluarga dan kroni Cendana. Mereka minta harga jual listriknya jadi jauh lebih tinggi ketimbang standar internasional.

Pada mark up dan KKN inilah titik konsentrasi diarahkan. Dengan mengamputasi biaya-biaya tersebut, otomatis akan diperoleh harga jual listrik swasta yang sesuai standar internasional.

Serangan bertubi-tubi

Tentu saja, upaya Rizal Ramli mendapat perlawanan sengit. Sejak itu pula dia mendapat tekanan dari berbagai penjuru. Bukan hanya dari kalangan swasta dan pengamat, tekanan luar biasa besar juga datang dari sejumlah duta besar negara-negara asal kreditor, anggota Kongres, Senator, dan lembaga keuangan anggota konsorsium kreditor. Mereka datang silih berganti ke sini, minta Pemerintah Indonesia tidak mengubah kontrak. Alasannya, kontrak adalah sesuatu yang suci. Padahal kontrak tersebut cacat hukum karena digelembungkan angkanya dan bernuansa KKN. Jadi sangat berpeluang direvisi.

Gentarkah Rizal Ramli? Sama sekali tidak. Berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan harga listrik swasta yang lebih murah. Antara lain, dia minta perwakilan Bank Dunia dan IMF di Jakarta ikut membantu negosiasi, baik secara teknis maupun bantuan lobi. Secara informal perwakilan Bank Dunia dan IMF. Direktur Asia Pasifik IMF Anoop Singh, John Dodsworth Kepala Perwakilan IMF di Indonesia, dan Mark Baird Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia diundang makan siang.

Hasilnya ternyata mengecewakan. Mereka hanya basa-basi. Bantuan yang diharapkan tidak pernah ada. Alasannya, karena soal ini menyangkut perusahaan-perusahaan multinasional dan bank-bank besar di negara-negara maju. Selain itu, juga ada sejumlah tokoh penting di negara maju di balik perusahaan-perusahaan multinasional tadi.

Blow up berita

Rizal Ramli harus berpikir keras mencari jalan keluar lain. Akhirnya, dia memutuskan mem-blow up berbagai praktik KKN dan mark up yang dilakukan perusahaan multinasional kepada koran berwibawa Wallstreet Journal yang terbit di Asia dan Washington.

Kasus praktik KKN proyek listrik swasta di Indonesia pun terekspos secara internasional. Negara-negara besar dan lembaga multinasional yang sering gembar-gembor menasihati negara dan pihak lain untuk tidak melakukan KKN, ternyata hipokrit. Mereka jadi gagap ketika nasehat-nasehat itu menyangkut perusahaan multinasional dari negara besar. Mereka tutup mata, tutup mulut, dan tutup telinga.

Wallstreet geger. Sejumlah perusahaan listrik di negara maju berupaya menyeret wartawan Wallstreet ke pengadilan. Tapi, karena fakta yang diungkapkan akurat dan ditopang bukti kuat, langkah itu diurungkan. Akhirnya mereka bersedia melakukan negosiasi ulang.

Tim Keppres 133/2000 yang dipimpin Rizal Ramli mampu menyelesaikan 16 dari 27 kontrak pembelian listrik swasta. Sisanya diteruskan oleh Tim Ekonomi Kabinet Megawati yang menggantikan Gus Dur. Dengan renegosiasi, harga listrik swasta bisa ditekan menjadi di bawah US$ cents 4/kWh. Total kewajiban pemerintah dan PLN turun drastis dari US$80 miliar menjadi US$35 miliar. Lega…

Belajar dari sukses Rizal Ramli, selalu ada cara untuk berjuang bagi kemaslahatan negeri dan rakyatnya. Semoga Sofyan pun bakal mendulang sukses yang sama. Kuncinya; pahami masalah, tahu solusi, tidak punya interest pribadi, dan berani. Kabar bagusnya, sepertinya Sofyan punya itu semua.

Oleh: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)