“Kalau begitu jelas, ini menggeser UU Tipikor dan KPK yang bersifat extraordinary crime ke tindak pidana yang bersifat biasa-biasa saja. Otomatis, konsekuensinya adalah menggeser cara penanganan tindak pidananya dari yang khusus menjadi biasa saja,” kata Fickar.
Selain permasalah diatas yang lebih ironis lagi, menurut Tama S Langkun yakni, koruptor yang diproses secara hukum bahkan dihukum bersalah tidak diwajibkan membayar uang pengganti kepada Negara karena RUU KUHP tidak mengatur hukuman membayar uang pengganti atau uang yang telah dikorupsi.
Di sisi lain, RUU KUHP juga tidak mengakomodir ketentuan Pasal 4 UU Tipikor yang intinya menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana yang dilakukan.
Jika ketentuan pasal 4 tidak dimasukkan dalam RKUHP maka di masa mendatang pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan Negara agar tidak diproses oleh penegak hukum.
KPK Pertanyakan Komitmen Jokowi
Hal tersebutpun diamini Komisioner KPK, Laode Muhammad Syarif.
“Kami memandang, masih terdapat aturan yang berisiko memperlemah KPK dan pemberantasan korupsi jika sejumlah pasal-pasal tentang tindak pidana korupsi masih dipertahankan di RUU KUHP tersebut,” kata dia saat jumpa pers di Kantornya, Jakarta, Rabu (30/5) malam.
Prinsipnya sama dengan pandangan beberapa aktivis diatas, yakni KPK menolak dimasukkannya tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi ke dalam RKUHP.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby