Presiden Joko Widodo (kedua kiri) dan Ibu Negara Ny. Iriana Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Dirut PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Katarina Denni Wisnu Wardani (kiri) dan General Manager TPPI Masputra Agung (kanan) berjalan meninjau Kilang Minyak TPPI di Tuban, Jawa Timur, Rabu (11/10). PT Pertamina (Persero) menyebutkan pengoperasian kembali kilang minyak TPPI tersebut dapat menghemat devisa sebesar 2,2 miliar Dolar AS setahun karena mampu mengurangi impor BBM dan LPG. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ama/15.

Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menilai proses bisnis PT Pertamina (Persero) selalu menuai hal kontroversial. Sebelumnya, Pemerintah Jokowi-JK sempat dihebohkan dengan pembelian minyak murah dari Sonangol yang tak jelas akhir ceritanya.

Belum lama ini, Pertamina memilih bekerjasama membangun kilang Tuban dengan perusahaan migas asal Rusia, Rosneft Oil Company. Rosneft dengan membawa investasi USD15 miliar berhasil menyingkirkan Aramco yang sudah lama mengincar kerjasama tersebut. Belum lama berselang, Rosneft pun mengirimkan 200 ribu barel BBM jenis premium ke Indonesia bagian dari 1,2 juta barel yang telah disepakati.

Yusri menduga ‘ada udang’ di balik impor premium Rosneft. Pasalnya, sejak 1 Agustus 2016, Pertamina telah mengubah mode produksi BBM di kilang TPPI dari mode premium sebesar 60.000 barrel per hari menjadi pertamax 40-50 ribu barrel per hari.

“Apa alasan Pertamina mengubah mode itu? Lantas dibawa ke mana ekses naphta dari Kilang Cilacap yang selama ini digunakan sebagai bahan baku blending untuk produk Premium Ron 88?” ujar Yusri di Jakarta, Senin (8/8).

Sepengetahuan Yusri, di dunia hanya Indonesia yang masih menggunakan Premium Ron 88. Artinya, jarang ada kilang yang memproduksi migas Ron 88, kecuali diblending komposisi HOMC 92 (80%) dengan Light Naphta (20%).

Padahal Ahmad Bambang menjelaskan, beroperasinya kilang TPPI dan kilang RFCC 2 Cilacap, ada tambahan pasokan Premium Ron 88 sebesar 91.000 barrel per hari, sehingga bisa menekan volume import Premium sebesar 30% sampai dengan 42%. Dan, dulu kita mengimpor sejumlah 9-10 juta barrel per bulan, sementara saat ini hanya 5 juta barrel per bulan.

“Pertamina jangan sampai mengubah kebijakan karena adanya intervensi orang-orang kuat di belakang Rosneft. Pertamina harus jujur menjelaskan kepada publik untuk menghindari persepsi negatif terhadap proses bisnis di Pertamina,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka