Koalisi masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak melanjutkan perundingan perdagangan bebas Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Koalisi masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak melanjutkan perundingan perdagangan bebas Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Hal karena dianggap merugikan Indonesia ditengah berbagai negara mitra ekonomi ASEAN.

Perundingan Putaran ke-20 RCEP telah berlangsung di Incheon, Korea Selatan pada 17-28 Oktober 2017. Pada penutupan perundingan dikabarkan perundingan gagal mencapai beberapa target. Tingginya komitmen yang ingin disepakati untuk membuka market akses perdagangan barang dan jasa hingga mencapai 90% sangat sulit untuk disepakati. Masing-masing negara memiliki kepentingan untuk menjaga pasarnya agar tidak dibanjiri oleh produk import.

Perundingan RCEP yang dimulai sejak 2012 dan hingga putaran ke 20, baru ada dua bab yang benar-benar terselesaikan yaitu bab tentang kerjasama ekonomi yang berhasil dirampungkan pada putaran ke 15 di china dan bab tentang Small Medium Enterproce (SMEs) yang selesai dirampungkan pada putaran ke 16 di Indonesia. Mudahnya pencapaian 2 bab tersebut di dalam RCEP dikarenakan aturannya tidak mengikat komitmen masing-masing anggota RCEP dan bersifat voluntary.

Sementara itu masih banyak lagi chapter yang sedang dirundingkan seperti Trade in goods, Trade in Service, Investment, IP, Dispute Settlement, E-Commerce, dan lain-lain yang masih mengalami kemandekan dalam pencapaian kesepakatan.

Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menjelaskan bahwa Kerjasama perdagangan bebas RCEP ini pada dasarnya hanya akan menguntungkan negara mitra ekonomi ASEAN ketimbang masing-masing negara anggota ASEAN itu sendiri. Hal ini dikarenakan 50% dari nilai keseimbangan perdagangan ASEAN mengalami deficit perdagangan khususnya dengan Jepang, China, dan Korea yang pada 2015 mencatatkan angka masing-masing -9,4%, -57,9 %, dan -67,5%. Bahkan, jika dilihat dari angka trade dependency ASEAN 2015, persentase terbesar masih didominasi dengan aktivitas perdagangan intra-ASEAN sebesar 23,9 % ketimbang dengan extra ASEAN, yang masing-masing senilai 2,3% (Australia), 15,2% (China), 2,6% (India), 10,5% (Jepang), 5,4% (Korea Selatan), dan 0,4% (New Zealand).

“Dari angka-angka diatas maka menunjukan kerjasama perdagangan RCEP ini tidak akan signifikan dampaknya terhadap negara-negara anggota ASEAN itu sendiri. Sehingga ASEAN seharusnya tidak terlalu ambisius untuk mendorong RCEP yang pada akhirnya hanya dimanfaatkan oleh negara-negara mitra ekonominya. Toh, ASEAN sendiri sudah punya FTA dengan masing-masing negara di RCEP. Jadi RCEP tidak perlu dilanjutkan”, tegas Rachmi secara tertulis yang diterima Aktual.com Selasa (31/10).

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby