Mantan Menteri Keuangan di era terakhir orde baru, Fuad Bawazier mengatakan sudah berkali-kali mengingatkan pemerintah bahwa sepanjang tahun 2018 rupiah cenderung akan melemah. Menurutnya jika ada waktu-waktu tertentu rupiah seperti menguat, tetapi itu hanya sementara saja dan selanjutnya akan melemah lagi. Jadi kalau ditarik garis lurus atau berjangka relatif panjang, pergerakan rupiah akan terus melemah.
“Rupiah kalau Menguat sifatnya sementara saja misalnya karena bunga rupiah dinaikkan atau dolar pas melemah karena faktor yang tidak ada hubungannya dengan ekonomi Indonesia, atau karena sedang ada intervensi di pasar valas oleh BI dan lain-lain. Tetapi semua obat kuat itu bukan nya tidak berisiko. Naikkan bunga akan memberatkan Perekonomian kita dan semakin sulit bersaing dengan negara lain,” kata Ekonom Senior ini, Sabtu (30/6).
Ia menambahkan kebijakan intervensi valas hanya akan menggerus cadangan devisa kita yang terus menurun. Karena inti melemahnya rupiah adalah supply dolar atau pemasukan dolar ke ekonomi Indonesia lebih kecil dari demand atau permintaan atau kebutuhan akan dolar, maka rupiah melemah. Dalam bahasa ekonominya adalah karena defisit transaksi berjalan Indonesia tahun ini diperkirakan USD25 Miliar. Defisit atau ketekoran inilah sumber utama melemah nya rupiah terhadap dolar.
“Jadi jangan bingung atau terus menerus menyalahkan ekonomi global dan sebagainya. Defisit transaksi berjalan ini terjadi karena Neraca Perdagangan (ekspor minus import barang dagangan) kita defisit. Begitu pula Neraca Transaksi Jasa yang defisit. Pemerintah menyoba menutupi defisit valas ini dengan banyak cara antara lain dengan menarik utang valas atau hot money lainnya. Ini bukan cara yang sehat dan bahkan bisa semakin terjerumus,” jelasnya.
Fundamental ekonomi yang lemah ini kata dia juga diikuti dengan defist APBN. Jadi praktis ekonomi Indonesia ini defisit atau tekor dari semua jurusan. Utang valas pemerintah dan swasta termasuk BUMN yang konsisten naik tajam juga mulai mengkhawatirkan kreditur pada umumnya bahwa jangan-jangan ke depannya Indonesia akan kesulitan atau gagal bayar utang. Di lain pihak pasar juga melihat ketergantungan ekonomi Indonesia pada barang import terutama pangan dan energi yang mau tidak mau akan membutuhkan valas.
“Kalau mau melihat bagaimana lemahnya APBN kita dan ketergantungan kita pada import (yang berarti perlu valas), saya punya dua pertanyaan atau alat uji yang sederhana yaitu: Apakah APBN bisa berjalan bila pemerintah tidak menarik utang baru dalam 2-3 bulan saja? Saya kira roda pemerintahan atau APBN akan collapse tanpa utang baru. Kedua, atau mampukah kita menyetop impor gandum yang defacto sudah menjadi pengganti pangan beras? Saya kira rakyat akan kesulitan atau bahkan “kelaparan”. Jadi Bagaimana dengan kemandirian ekonomi yang dijanjikan pemerintah Jokowi? Saya kira sedang berjalan sebaliknya,” ungkapnya.
Apalagi kata dia karena tahun politik, pemerintah sedang getol-getolnya melaksanakan berbagai policy yang cenderung populis atau semacam kampanye demi kemenangan pilpres 2019. Pemborosan-pemborosan APBN demi popularitas di dalam negeri maupun luar negeri termasuk jadi Tuan Rumah pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia perlu ditinjau kembali.
“Tapi Itulah enaknya incumbent yang bisa berkampanye legal dengan biaya negara yang menjadi beban pemerintah atau generasi yang akan datang,” pungkasnya.
Analis: Pelaku Pasar Masih Melihat Perkembangan