Rapuhnya Fundamenal Ekonomi
Mantan Menteri Keuangan, Fuad Bawazier mengatakan bahwa rupiah dan pasar modal banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil oleh The Fed dan pemerintah Amerika Serikat.
“Depresiasi nilai tukar rupiah saat ini mengganggu kepercayaan investor asing. Risiko investasi Indonesia yang tercermin dalam credit default swap (CDS) terbilang meroket dalam lima bulan pertama di tahun. Bahkan, pada Selasa (8/5/2018) kemarin, CDS kita telah melambung, berada di level tertinggi, mencapai 129,19 bps. Kemudian pada hari Rabu-nya (9/5/2018), CDS Indonesia posisinya masih ada di level 211,420 yang merupakan rekor terburuk di tahun ini,” ujar Fuad dinukil dari watyutink.
Nilai CDS tersebut digunakan sebagai indikator fundamental yang paling dicari oleh para investor besar dan para fund manager di seluruh dunia. Semakin tinggi CDS maka semakin tinggi risiko investasi yang harus dihadapi investor. Ditambah lagi pelemahan rupiah yang tembus Rp14.000 per dollar Amerika Serikat (AS), yang tentunya akan terus menggerus imbal hasil yang diterima investor. Tentu akan membuat investor akan berpikir ulang untuk mempertahankan investasinya di Indonesia.
Salah satu contoh yaitu data dari Bursa Efek Indonesia(BEI) tentang adanya net selling. Artinya, arus modal keluar negeri sudah mulai terjadi. Investor asing melakukan aksi jual sekitar 1,24 miliar lembar saham senilai Rp4,09 triliun. Aksi beli investor asing tercatat 1,31 miliar lembar saham senilai sekitar Rp3,88 triliun. Total Aksi jual bersih (net selling) oleh investor asing pada perdagangan hari ke-15 berturut-turut, Senin (14/5/2018) mencapai Rp208,04 miliar. Hal ini mengindikasikan bahwa investor mulai meninggalkan Indonesia dan membawa modalnya keluar Indonesia. Akan sangat mengkhawatirkan jika kondisi seperti ini terus dibiarkan.
Managing Director Political Economy and Policies Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengungkapkan pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini disebabkan karena capital outflow. Sedangkan cadangan devisa turun terus, dari 131,98 miliar dolar AS pada akhir Januari 2018 menjadi 128,06 miliar dolar AS pada akhir Februari 2018, dan turun lagi menjadi 126 miliar dolar AS pada akhir Maret 2018. Penurunan cadev tersebut karena neraca pembayaran mengalami defisit sehingga Bank Indonesia perlu mengeluarkan devisa untuk mencukupi kebutuhan valas.
Melihat transaksi berjalan yang selalu defisit, maka kurs rupiah dan neraca pembayaran sangat tergantung dari transaksi modal dan transaksi finansial. Ketergantungan ini mencerminkan struktur atau fundamental ekonomi Indonesia saat ini sangat lemah, tidak seperti yang digembar-gemborkan oleh para pejabat terkait yang mengatakan fundamental ekonomi kita bagus.
“Kalau fundamental ekonomi ini tidak berubah secara drastis, maka intervensi rupiah akan sia-sia. Bahkan lambat laun kondisi ini bisa memicu krisis neraca pembayaran (balance of payment crisis), alias krisis niliai tukar(currency crisis),” jelas Anthony.
Krisis nilai tukar biasanya didahului dengan capital inflow yang besar sekali, seperti yang terjadi di 2016 dan 2017, kemudian disusul dengan capital outflow yang juga besar seperti terjadi sekarang. Alasannya, capital inflow memicu kenaikan harga (inflasi) pada aset keuangan, yang tercermin dari kenaikan indeks saham yang berlebihan. Ketika harga aset keuangan dinilai terlalu tinggi, maka terjadi profit taking dan capital outflow: kurs rupiah melemah.
“Kalau kondisi ini bersifat kronis, intervensi tidak akan ada gunanya, lambat laun rupiah bisa terdepresiasi tajam dan memicu krisis nilai tukar,” tegasnya.
Jadi, permasalahan utama ekonomi dan nilai tukar kita saat ini terletak di sektor riil, yaitu defisit transaksi berjalan berkepanjangan. BI pun merespon dengan menaikkan suku bunga acuan.
Page 3:Peran Asing dalam ekonomi Indonesia
Artikel ini ditulis oleh:
Eka