Menjalankan tugas negara sebagai Duta Besar di negara asing, bukanlah hal luar biasa. Tetapi bagaimana jika Anda ditugaskan ke Baghdad, ibukota Irak, yang bisa dibilang setiap hari ada ledakan bom dan serangan teror? Pengalaman unik inilah yang terjadi pada Letnan Jenderal TNI Marinir (Purn) Safzen Noerdin, S.IP.

Ia sudah 38 tahun malang melintang sebagai prajurit TNI yang profesional, dengan jabatan tertinggi yang pernah diraih sebagai Komandan Korps Marinir TNI Angkatan Laut. Putra Aceh ini mengaku tidak pernah menyangka bila di ujung masa pengabdiannya sebagai tentara, Pemerintah Indonesia justru menugaskan dirinya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Irak di Baghdad (2012-2016). Ada peralihan profesi, dari tentara profesional kini menjadi diplomat.

Safzen Noerdin, S.IP lahir di Krueng Sabee, Aceh Jaya, Aceh, pada 25 Januari 1952. Ia mulai bertugas di Baghdad sebagai Duta Besar RI untuk Irak pada Maret 2012. Sebelum menjadi Duta Besar, Safzen Noerdin adalah mantan Komandan Korps Marinir. Safzen Noerdin merupakan lulusan Akademi Angkatan Laut tahun 1975 dari Korps Marinir.

Jabatan militer yang pernah dipegangnya adalah: Komandan Peleton (1976); Komandan Kompi (1983); Komandan Batalyon Infanteri 6 Marinir (1992); Komandan Satuan Marinir Armada Timur (1997); Asisten Dankormar Bidang Operasi (1998); Komandan Brigif-2 Marinir (1999); Wakil Gubernur Akademi Angkatan Laut (2001); Kepala Staf Korps Marinir (2002); Komandan Komando Pendidikan TNI Angkatan Laut (2004); Komandan Korps Marinir (2005); Inspektur Jenderal TNI-AL (2007); Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan (2008); dan Asistensi Bidang Pengawasan Internal Kementerian Pertahanan RI (2010).

Bukan sekali dua kali dalam kehidupannya, Safzen Noerdin meninggalkan anak istri untuk bertugas di daerah rawan. Pada 1987-1988, Safzen pernah bertugas sebagai utusan United Nation (UN) untuk mengawasi perbatasan, terkait gencatan senjata saat perang Irak-Iran ketika itu.

Bertugas sebagai diplomat di daerah berbahaya seperti Baghdad, selama berbulan-bulan bahkan lebih, pastilah menimbulkan stres tinggi. Karena tidak dimungkinkan membawa keluarga, seperti istri ataupun anak, kerinduan pada keluarga di Tanah Air juga menimbulkan tekanan tersendiri. Maka tantangan utama bertugas di Irak adalah bagaimana menjaga “kestabilan mental.”

Beberapa diplomat Indonesia menuturkan, salah satu yang menyebabkan stres adalah suasana terkungkung. Karena pertimbangan keamanan, para staf KBRI tinggal di dalam lingkungan kompleks tertutup yang dijaga ketat. Mereka tidak bebas berjalan-jalan di kota Baghdad karena banyak pos pemeriksaan dan selalu ada ancaman bom atau risiko keamanan lain.

Kesempatan untuk keluar dari lingkungan kantor hanyalah jika mendampingi Duta Besar RI ke bandara atau ke kantor lembaga pemerintah Irak. Itu pun harus menggunakan mobil KBRI yang anti-peluru. Jadi ruang gerak para diplomat adalah antara kamar tidur atau istirahat dan ruang kerja, yang praktis ada di gedung yang sama, hanya terpisah beberapa meter.

Dalam kondisi tertekan semacam itu, Safzen harus punya kiat khusus, bagaimana mempertahankan kekompakan dan semangat kerja staf KBRI. “Coba bayangkan, kita hidup dalam ‘kurungan’ tembok yang mengelilingi gedung KBRI Baghdad. Tidak mudah untuk bepergian. Siang malam bertemu hanya dengan sesama staf KBRI, sehingga muncul istilah 4L (lo lagi, lo lagi). Andaikan satu dengan lainnya tidak rukun, betapa beratnya tugas ini, bisa seperti di neraka,” jelas Safzen.

“Saya harus menjadi bapak yang mengayomi, menjadi guru dalam soal pengalaman hidup, menjadi teman mereka untuk bercanda tawa, dan sesekali juga harus menjadi komandan untuk menerapkan kedisiplinan dan kepatuhan dalam bekerja,” tambahnya. Safzen beranggapan, ketika bertugas di daerah berbahaya, sungguh runyam dan berisiko jika hubungan antara sesama staf KBRI juga tidak serasi dan tidak harmonis.

Safzen adalah figur yang unik dan berbeda dengan para duta besar negara-negara lain yang ditempatkan di Baghdad. Para dubes lain cenderung “mencari aman,” dengan tidak banyak bepergian ke luar dari lingkungan kantor perwakilan diplomatik mereka yang dijaga ketat. Sedangkan Safzen berani mengambil risiko dan menanggung ancaman keamanan, dengan “blusukan” ke daerah-daerah di Irak. Yakni, sampai ke Erbil dan Sulaymaniyah di Kurdistan, hingga ke Najaf dan Karbala di Irak selatan.

Safzen siap menemui warga Indonesia yang tinggal atau bekerja di sana, demi kepentingan tugas melindungi kepentingan setiap warga negara Indonesia di luar negeri. Padahal Irak adalah tergolong daerah berbahaya. Meskipun staf KBRI selalu membuat prakiraan kondisi dan persiapan matang, yang namanya risiko keamanan tidak selalu bisa diperhitungkan sepenuhnya.

Menurut seorang diplomat KBRI, kunjungan pembinaan terhadap warga Indonesia di Irak ini selalu diadakan oleh Dubes Safzen. Ini sekaligus juga sebagai bentuk perhatian KBRI terhadap masyarakat Indonesia yang berada di berbagai pelosok Irak, baik yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga, baby sitter, maupun tenaga kerja ahli. Dubes secara langsung memberikan pengarahan maupun informasi terkait ketenagakerjaan, atau informasi lain yang bersumber dari KBRI maupun dari pemerintah di Jakarta.

Dalam hal pendidikan umum, Safzen menyelesaikan SD (1964), SMP (1967), dan SMA-nya (1970) di sekolah negeri di Banda Aceh. Lalu ia menyelesaikan S-1 Administrasi Negara di Universitas Terbuka, Jakarta (1997).

Dalam hal pendidikan militer, Safzen lulus dari AKABRI Laut (1975), Diklapa-I Marinir (1977/1978), Sustafpur TNI-AD (1987), Sus Dan Yon/Inf TNI-AD (1989), Seskoal Angkatan-29 (1991/1992), Sesko ABRI Angkatan-23 (1996/1997), dan Lemhannas KRA XXXIII (2000). Karir militernya dimulai dari pangkat Letnan Dua KKO (1 Desember 1975), dan secara bertahap pangkatnya terus meningkat sehingga menjadi Letjen Marinir (27 Mei 2008). Mulai 1 Februari 2010, Safzen sudah berstatus Purnawirawan.

Penugasan yang pernah dijalaninya di dalam atau pun luar negeri, adalah: Operasi Timor Timur Satgas Pasmar 5 (1976); Operasi Timor Timur Satgas Parikesit (1979); Operasi SARA Jawa Tengah (1981); Operasi Timor Timur Satgas Gada (1983); Perwira Observer United Nations (PBB) di Irak (1988); Peace Keeping Force PBB di Kamboja (1992); Ketua Delegasi Perundingan COHA dengan GAM di Aceh (2002); dan Wapang Koops TNI pada Darurat Militer di Aceh (2003).

Tanda jasa atau kehormatan yang pernah diperoleh adalah: Bintang (BT) Dharma; BT. Yudha Dharma Pratama; BT. Yudha Dharma Nararya; BT. Jalasena Pratama; BT. Jalasena Nararya; Satya Lencana (SL) Kesetiaan VIII Tahun; SL Kesetiaan XVI Tahun; SL Kesetiaan XXIV Tahun; SL Seroja (Operasi Timor Timur); SL Dharma Nusa (Operasi Aceh); SL Santi Dharma (Pasukan Garuda-VIII); SL Santi Dharma (Pasukan Garuda-XII/B); The UN Medal (UNIMOG) Irak-Iran; The UN Medal (UNTAC) Cambodia; Sihanouk Medal (Cambodia); SL Bhakti Kemanusiaan (Tsunami Aceh); dan Dwidya Sista (Pendidikan).

Safzen menikah dengan Diah Winarsini, gadis Jawa kelahiran Surabaya, dan dikaruniai lima anak. Putra-putri Safzen berturut-turut adalah: Nanda Diana Sari, Mega Diana Putri, Bella Diana Dewi, Ria Diana Shanti; dan Indra Putra Bahari. ###

Artikel ini ditulis oleh: