Sebagai calon petahana, sudah barang tentu setiap instrumen yang dimilikinya, baik secara sadar maupun tidak, akan melekat dan dipergunakan. Dari level pejabat negara , menteri hingga aparatur negara (TNI/Polri) untuk menyampaikan prestasi maupun capaian kinerja pemeritah kepada rakyat pun tidakt luput dimanfaatkan demi kepentingan pemenangan. Termasuk mengenai kesiapan logistik alias dana pertarungan di Pilpres nanti.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon pun sempat menyinggung agar adanya transparansi sumber dana atau anggaran kampanye para Paslon.
“Saya kira ke depan ini harus ada transparansi persoalan anggaran, termasuk dari pihak petahana. Yang biasanya petahana ini yang selalu diuntungkan dengan dana-dana siluman,” jelas Fadli.
Menurutnya, di dalam kontestasi Pilpres 2019 ini, jangan sampai ada dana siluman yang tidak diketahui.
“Kami tidak ingin ada dana siluman, semua lebih baik terbuka, transparansi dalam anggaran Pilpres. Apalagi menggunakan anggaran-anggaran yang terselubung, saya kira jangan sampai ini terjadi,” sebutnya.
Instrumen lain, yang digunakan calon petahana, yakni jajaran menteri kabinet kerja sang presiden.
Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) menyampaikan nota protes ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena membiarkan menteri Kabinet Kerja menyalahi kekuasaan (abuse of power).
“Pada hari ini ACTA Pemilu secara resmi menyatakan protes atas tidak tegasnya Bawaslu RI dalam melakukan pencegahan potensi pelanggaran penyalahgunaan kekuasaan oleh tiga orang menteri kabinet kerja, yaitu Mendagri Tjahjo Kumolo, Mendes PDT Eko Putro Sandjojho, dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto,” kata Wakil Ketua ACTA, Ali Lubis di kantor Bawaslu RI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (30/8).
Ketiga menteri itu, menurut dia, sudah “mencuri start” kampanye Pilpres tahun 2019 nanti. Misalkan, pada tanggal 25 Juli lalu, pada sebuah acara resmi, Menteri Tjahjo sudah menyuarakan Jokowi dua periode.
“Sementara Menteri Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang menyatakan jika Jokowi terpilih, dana desa bisa naik lagi serta Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di acara GIIAS 2018,” ulasnya.
Ali menegaskan, pernyataan tiga menteri Jokowi tersebut berpotensi melanggar ketentuan Pasal 282 junto 547 UU 7/2017 tentang Pemilu yang melarang pejabat negara membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
“Saat ini Bawaslu memang belum bisa menindak mereka karena belum resmi penetapan pasangan calon Pilpres 2019, namun seharusnya Bawaslu bisa mengingatkan dua menteri tersebut sebagai bentuk pencegahan penyalahgunaan kekuasaan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ali mengatakan, sikap Bawaslu dalam kasus potensi penyalahgunaan kekuasaan menteri ini berbeda sekali dengan respon terhadap tuduhan mahar politik Sandiaga Uno yang begitu agresif sampai memanggil beberapa saksi.
Padahal, jelas Ali, Pasal 93 huruf b UU 7/2017 tentang Pemilu secara tegas memberi kewenangan kepada Bawaslu bukan hanya untuk melakukan penindakan, tetapi juga pencegahan pelanggaran Pemilu.
“Bulan September yang akan datang tahapan Pemilu akan memasuki penetapan pasangan calon, kami meminta kepada Bawaslu untuk tidak lagi lengah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Jangan sampai ada satu pihak yang bisa seenaknya melakukan pelanggaran dan ada pihak lain yang seolah dicari-cari kesalahannya,” pungkasnya.
Presidium Persatuan Pergerakan, Andrianto SIP mengatakan bahwa tudingan yang acap kali disampaikan oleh kubu petahana terkait adanya upaya ‘curi start’ yang dilakukan lawan politiknya, bagaikan ‘menepuk air terpercik muka sendiri’ begitulah perumpamaan pribahasa yang tepat menilai prilaku elit Parpol maupun simpatisan Jokowi.
“Tuduhan yang dilontarkan (kubu Jokowi,red) itu kurang tepat, seakan menepuk air terpercik muka sendiri, dan justru gesture incumbent yang sering mencuri start kampanye kepada publik,” kata Andrianto saat berbincang dengan aktual.com, Senin (10/9).
Menurut dia, sebagai petahana tentunya Jokowi maupun simpatisannya sangat leluasa dalam upaya mencari simpati kepada publik. Terlebih, ketika pertemuan yang diduga kampanye dibungkus melalui kegiatan sosialisasi yang diadakan oleh pemerintah.
“Sehingga saya rasa parameternya agak menjadi sumir untuk mengukur kampanye ketika semua (kegiatan) dibungkusnya dengan sosialisasi. Dan, justru pihak incumbent yang dapat manfaatkan keuntungan dari celah itu,” paparnya.
Semantara itu, dalam kesempatan berbeda mengenai fenome saling tuding mencuri start kampanye Pilpres 2019 masing-masing kubu sangat disayangkan.
Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago (Ipang) menegaskan, ikhwal ada atau tidaknya pelanggaran baik yang dilakukan individu maupun kelompok Paslon Capres-Cawapres terkait dengan kegaiatan yang diduga mencuri start kampanye merupakan ranah dari Bawaslu RI.
“Soal ada yang curi start atau tidak ada, Bawaslu yang bakal memberikan kartu kuning atau pelanggaran mana yang dinilai telah melanggar (aturan UU Pemilu). Kita tidak bisa kemudian berdasarkan asumsi dan persepsi, dengan menilai kesalahan soal curi start menurut pikiran kita,”ujar Ipang kepada aktual.com, Minggu (9/9).
“Jadi, sederhananya kalau memang yakin adanya pelanggaran mencuri start kampanye maka seharusnya dilaporkan kepada Bawaslu,” tambahnya.
Menurut Ipang, bila dugaan pelanggaran itu-red berdasarkan pada persepsi, maka yang sangat besar potensi mencuri start di Pilpres 2019 adalah kubu dari petahana (Jokowi-Ma’ruf).
“Justru incumbent lebih punya potensi jauh lebih besar mencuri start dibandingkan sang penantang. Bahkan, kampanye yang dilakukan petahan selama 5 tahun lebih leluasa membangun citra populisme, terhadap apa yang menjadi prestasi, capaian dan program yang berhasil sehingga menaikan approval rating bagi petahana,” paparnya.
Oleh karena itu, Ipang mengingatkan agar pengawas maupun penyelenggara Pemilu 2019 untuk berperan aktif dalam upaya menimalisir meluasnya keributan yang justru hanya akan menambah panasnya suhu politik jelang Pilpres nanti. Salah satunya, sambung dia, dengan tidak bersikap diskriminasi dan perlakuan tidak adil terhadap Paslon tertentu.
“Sehingga, sentimen dan manajemen isu positif terhadap kandidat tetap harus dipertahankan,” pungkas Ipang.
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang