Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo meyampaikan sambutan saat persemian Klinik Elektronik Laporan Kekayaan Penyelenggaraan Negara (e-LHKPN) di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2). Program kerjasama DPR dan KPK membentuk klinik e-LHKPN untuk mempermudah anggota DPR mengisi dan memperbaharui LHKPN. Pengisian LHKPN menggunakan system online. AKTUAL/Tino Oktaviano

Bogor, Aktual.com – Presiden Joko Widodo membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dengan sejumlah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Istana Kepresidenan Bogor, Bogor, Rabu (4/7).

Dilansir dari Antara, kedua pihak membicarakan tentang masuknya tindak pidana korupsi (Tipikor) ke dalam RKUHP.

“Pandangan saya sederhana sebenarnya, pertama rancangan (KUHP) itu benar dalam arti kita belum punya undang-undang. Itu salah satu cara mempunyai undang-undang dulu, yang kemudian meninggalkan warisan dari Belanda,” kata Ketua KPK Agus Raharjo di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (4/7).

Agus menyampaikan hal itu didampingi empat Wakill Ketua KPK Alexander Marwata, Saut Situmorang, Laode M Syarif dan Basaria Panjaitan. Selain pimpinan, hadir pula Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang.

Sedangkan dari pihak pemerintah yang mendampingi Presiden Joko Widodo adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

“Namun, kami melihat sistem koordinasi yang mau diterapkan itu, kalau saya baca-baca, mohon maaf, Pak Yasonna itu kan mengubah,” tambah Agus.

Menurut KPK, masuknya pasal korupsi dalam RKUHP berpotensi mengurangi efektivitas upaya pemberantasan korupsi karena muncul ketidakpastian dan perlunakan terhadap pelaku kejahatan korupsi misalnya tidak ada sanksi pidana uang pengganti dan turunnya hukuman denda terhadap pelaku korupsi.

KPK mengatakan setidaknya ada 10 hal mengapa RKUHP berisiko bagi KPK dan pemberantasan korupsi yaitu (1) Kewenangan kelembagaaan KPK tidak ditegaskan dalam RUU KUHP, (2) KPK tidak dapat menangani aturan baru dari United Nations Convention againts Corruption (UNCAC) seperti untuk menangani korupsi sektor swasta, (3) RUU KUHP tidak mengatur pidana tambahan berupa uang pengganti.

Selanjutnya (4) RUU KUHP mengatur pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif, (5) RUU KUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi, (6) Beberapa tindak pidana korupsi dari UU Pemberantasan Tipikor masuk menjadi Tindak Pidana Umum.

Kemudian (7) UU Pemberantasan Tipikor menjadi lebih mudah direvisi, (8) Kodifikasi RUU KUHP tidak berhasil menyatukan ketentuan hukum pidana dalam satu kitab Undang-undang, (9) Terjadi penurunan ancaman pidana denda terhadap pelaku korupsi, (10) Tidak ada konsep dan parameter yang jelas dalam memasukkan hal-hal yang telah diatur undang-undang khusus ke dalam RUU KUHP.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan