– Lari dari ke-Aku-an diri. Terusirnya Iblis dari surga dan tenggelamnya fir’aun kedalam laut merah karena sifat ke-Aku-annya. Menganggap aku yang akbar berarti ia telah jatuh pada kesombongan dan menganggap aku yang kecil berarti ia jatuh pada sikap riya. Menyisakan ke-Aku-an dalam diri berarti ia menganggap dirinya ada/ wujud secara hakiki.

Dengan kata lain, keberadannya menyaingi wujud Tuhan (syirik jali/khafi). Kalau ditelisik lebih dalam, sejatinya Ke-Aku-an ini tidaklah hakiki, ia adalah nisbi seperti sosok dalam cermin. Sosok dalam cermin itulah aku atau kita. Ia bayangan bukan kenyataan karena yang nyata dan wujud hanya Allah Swt. Diri kita adalah cermin, cermin dari ilahi.

Jika cermin itu retak atau pecah maka yang tampak dalam cermin itu adalah keburukan dan bukanlah wajah Tuhan yang buruk tapi cermin itulah yang memantulkan sifat/wajah Tuhan yang buruk yang berarti kita sendiri yang buruk. Oleh sebab itulah kenapa perbuatan buruk itu harus disandarkan pada diri sendiri sedangkan perbuatan baik disandarkan kepada Allah.

Manusia sebagai cermin ilahi seharusnya selalu memeriksa dan membersihkan dirinya dari noda-noda yang menutupi sifat/wajah hakiki Tuhan dalam diri kita. Rusaknya cermin adalah karena perbuatan kita sendiri seandainya kita memelihara cermin itu maka sifat-sifat/wajah Tuhan akan nampak sempurna dalam cermin hati dan perbuatan-perbuatan kita. Rusaknya cermin berarti retaknya diri kita dalam arti tidak sempurna.

Dalam sebuah hadis/maqola disebutkan; barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu). Maksud diri/nafs dalam hadis/maqola ini adalah menyadari diri yang nisbi. Ia tidak betul-betul wujud/mandiri seperti seorang hamba sahaya di mana segala sesuatunya ditentukan oleh majikanya. Ia tidak punya pilihan selain mematuhi dan menerima apa yang telah ditentukan dan diputuskan oleh majikannya.

Keberadannya seperti tidak adanya, lemah dan tak berdaya dalam genggaman sang majikan. Dirinya nisbi dihadapan sang majikan yang selalu tampak adalah sang majikan. Tapi hamba yang seperti itu dalah hamba terbaik. Diri yang sempurna atau hamba terbaik adalah hamba yang menjadikan dirinya cermin bagi kebaikan dan keluhuran sifat-sifat ilahi.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid