Stasiun Jatinegara dulu
Stasiun Jatinegara dulu

Jakarta, Aktual.com — Gubernur Ahok ini apa ya tahu ya, sejarah yang namanya Jalan Matraman dan daerah sekitarannya seperti Manggarai, Galur sampai ke Menteng. Kalau melihat sejarahnya, ini daerah panas. Bukan karena secara berkala selalu jadi ajang tawuran antara warga Berland dan warga Pal Meriam.

Tahun 1628-1629, saat daerah ini masih hutan belukar, wilayah ini pernah jadi basis balatentara Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung, untuk menyerbu Batavia yang kala itu sudah diduduki Belanda dengan gubernur jenderal Jan Peterzoen Coen.

Waktu itu pusat kekuasaan Jan Peterzoen Coen berpusat di Pasar Ikan. Nah, tambah lagi info kan, Pasar Ikan juga merupakan tempat bersejarah. Dan dianggap wilayah strategis, kalau tidak ngapain juga Jan Peterzoen Coen repot-repot menjadikan daerah Pasar Ikan sebagai basis dan benteng pertahanannya. Jangan lupa, Pasar Ikan ini merupakan mata-rantai dari Sunda Kelapa, muasalnya kota Jakarta sekarang.

Sayang pada akhirnya, serangan Sultan Agung Mataram tersebut mengalami kegagalan. Meski gara-gara itu, Gubernur JP Coen juga tewas. Ada dua versi cerita. Yang satu bilang JP Coen mati gara-gara penyakit pes. Versi kedua, JP Coen memang tewas oleh pasukan Mataram.

Namun kisah heroik tentara Mataram itu, akhirnya kubu pertahanan Mataram itu diabadikan menjadi nama tempat, Jalan Matraman. Mungkin maksudnya orang Betawi kala itu, Mataram, cuma lidah Betawi biasa nyebut Matraman.

Cerita soal daerah seputaran Matraman ini tidak cuma sampai di situ lho. Waktu Belanda gubernur jenderal Marsekal Herman Willem Daendels, juga pernah dijadikan pusat pertahanan Belanda.

Hanya bedanya, di era Daendels, Matraman dan sekitarnya jadi ajang perang antara Belanda(yang waktu itu berada dalam kekuasaan Napoleon Bonaparte, dan ceritanya Daendels ini sebenarnya orang Belanda tapi anteknya Perancis), melawan Inggris. Kejadiannya terjadi antara 1808-1811, jelang kedatangan pasukan Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Raffles.

Ketika armada Inggris mendarat di Cilincing 4 Agustus 1811, Belanda yang kala itu sudah beralih ke tangan gubernur Jan Willem Jansen, akhirnya bertekuk-lutut.

Kabarnya Inggris yang datang dengan berkekuatan 11.960 personel kemudian memasuki kota dan menyusur ke selatan, menyapu tangsi-tangsi militer di sekitar Lapangan Banteng dan Gambir.

Yang sekarang kita kenal jalan Diponegoro yang dekat prapatan mau ke Salemba, kan ada Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, Salemba. Nah dulu dikenal namanya Strusjswick. Nah di sinilah Inggris berhasil di bawah komando Kolonel Gillespie melumpuhkan dua kubu artileri Belanda di Jalan Tegalan, kalau namanya yang sekarang.

Terus Inggris bergerak ke Meester Cornelis, yang sekarang kita kenal dengan nama Jatinegara, sebelahan sama jalan Matraman itu tadi.

Menariknya. Beda dengan Belanda yang milih memusatkan benteng pertahanannya di Pasar Ikan, Inggris lebih senang mengandalkan benteng pertahanannya di Jatinegara.

Kebanyakan kita sekarang, nama-nama jalan itu seakan ga ada nilai sejarahnya. Padahal, dari sekilas cerita ini aja, wilayah-wilayah terutama yang masuk Jakarta Pusat, meskipun Jatinegara ini kalau ga salah sudah masuk Jakarta Timur, tapi masih dalam mata-rantai Jakarta Pusat dan Utara.

Energi spiritualnya masih kuat. Ketimbang Bekasi atau daerah seputaran Ciliwung yang sepertinya aura dan energinya amat buruk. Disebabkan satu dan lain hal. Sedangkan Tanah Abang, yang meski sudah masuk Jakarta Barat, tapi masih dalam mata-rantai dengan Jakarta Pusat dan Utara.

Nah celakanya, orang-orang Belanda dan Inggris justru lebih paham ini karena mereka gimanapun juga, kuat budaya riset dan kajiannya. Sehingga ilmunya dapat, penghayatan spiritualnya bisa mereka serap juga. Maka kita dengan mudah bisa ditumpas. Maka Betawi justru jadi tahapan awal konsolidasi kekuasaan penjajahan Belanda maupun Inggris.

Nah kalau sudah sampai di sini, saya suka jadi mikir, kenapa Sultan Agung Mataram Yogya yang sudah merencanakan serangan militer besar-besaran ke Betawi, akhirnya kandas? Apa karena Belanda kekuatan militernya begitu kuat?

Saya khawatir bukan karena Belanda-nya waktu itu yang kuat. Tapi Sultan Agung, sepertinya tidak terlalu mengenali geopolitik Betawi ketika itu. Baik GeoPosisinya(Geostrategi), GeoEkonominya(kandungan kekayaan alamnya), dan GeoKultural, kondisi sosial-budaya Betawi kala itu. Sehingga serangan Sultan Agung belum dapat restu spiritual dari tokoh-tokoh spiritual Betawi kala itu, baik yang masih hidup maupun yang sudah di alam baka.

Makanya yang selalu diingatkan Bung Karno tetap relevan hingga kini: “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit