Jakarta, Aktual.com — Realitasnya, literatur berkualitas Syekh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani harus mendapat perlakuan istimewa. Namun, kini dalam bahaya, bahkan karya-karya Ulama lain pun mengalami nasib serupa yang membutuhkan tindakan penyelamatan.

Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani dilahirkan di kampung Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten pada tahun 1813 Masehi (atau 1230 Hijriah). Ayahnya bernama Kyai Umar, pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dia memiliki nama lengkap Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani.

Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan Kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyara-ras (Tajul `Arsy). Nasabnya bersambung dengan Muhammad melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali Zain Al-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra.

Berbagai literatur menyebut Syekh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar “Sayyidu Ulama’ al-Hijaz” yang berarti “Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari Ulama Hijaz” atau “Akar dari Ulama Hijaz”. Beliau juga mendapatkan gelar “Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi” sehingga bermakna bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi di Tanah Air sendiri. Selain itu, beliau juga mendapat gelar “Al-imam wa Al-fahm Al-mudaqqig” yang berarti “tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam”. Snouck Hourgronje member gelari “Doktor Teologi”.

Kini, sejumlah literatur keagamaan, termasuk karya Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani dan sejumlah Ulama lainnya memasuki fase dalam bahaya (in dangerous) dan perlu langkah nyata untuk menyelamatkannya, tidak sekadar wacana, tidak hanya mengingatkan, tapi juga harus ada “take action”, kata Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdul Rahman Mas’ud.

“Kita memiliki manuskrip luar biasa tetapi tidak banyak dilihat,” kata Mas’ud di sela kegiatan International “Symposium on Religious Literature and Heritage” yang diselenggarakan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama di Jakarta, belum lama ini.

Mas’ud mengilustrasikan, yang paling mudah saja, banyak orang yang berasal dari Jawa tidak berbahasa Jawa, orang Sunda lupa bahasa Sundanya yang tertulis. Saat ini, generasi sekarang ini tidak bisa Hanacaraka.

Ia melihat kini yang mendalami literatur-literatur dan manuskrip serta khazanah keagamaan Indonesia malah banyak orang asing. Selama ini, bangsa Indonesia melihatnya ke luar, jarang melihat ke dalam tidak kurang apresiasi diri, padahal bangsa ini memiliki khazanah kegamaan luar biasa.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Machasin mengakui banyak literatur yang dibuat oleh orang Indonesia yang ditulis dalam bahasa lokal tidak banyak dikenal orang Indonesia sendiri.

“Apakah ada perubahan dari bahasa lokal ke bahasa Arab dalam karya literatur tersebut, ternyata tidak,” katanya.

Bahkan, karya-karya yang ditulis dalam bahasa Arab pun saat ini tidak dikenal seperti karya Syech Nawawi Albantani dan Hasyim As’ari yang karya-karyanya ditulis dalam bahasa Arab, dan Syekh Saleh Darat yang karya-karyanya ditulis dalam bahasa Jawa, kini tidak banyak dikenal.

Termasuk pula Syekh Mahfudz Termas, yang salah satu bukunya dikutip oleh ulama Al-Azhar, justru di Indonesia sendiri tidak banyak dikenal, kata Machasin bicara pada simposium tersebut.

Mas’ud menegaskan, bahwa simposium ini mengingatkan kembali bahwa Indonsia punya kekayaan yang banyak dan jangan sampai justru orang asing yang lebih peduli. Oleh karena itu, penyelenggaraan simposium itu tentu tidak hanya sekadar mengingatkan, tetapi agar juga harus ada “take action”, tidak sekadar wacana, harus ada langkah-langkah konkret.

Langkah konkretnya, Mas’ud menyebut di antaranya adalah publikasi, penerbitan bersama, penelitian-penelitian lanjutan, workshop-workshop yang lebih teknis. “Intinya adalah soal kearifan lokal kita yang kaya tetapi terlupakan selama ini,” tuturnya.

Mungkin juga, kata Machasin, tindak lanjutnya adalah buku-buku karya Ulama itu dijadikan literatur di dalam mata kuliah di Perguruan Tinggi agama Islam. Misalnya, kalau mau belajar fikih tidak hanya melalui buku atau karya Yusuf Qardawi saja, tetapi bisa juga melalui karya Soleh Darat, Syekh Nawawi Albantani.

Machasin mengatakan, bahwa khazanah dan literatur Timur Tengah bagus untuk beberapa bagian. Akan tetapi, untuk beberapa bagian tertentu tidak cocok di Indonesia. Jadi, tidak semua di Indonesia itu baik, tetapi tidak semua yang berasal dari Timur Tengah itu jelek.

“Kita ambil yang baik dari sana (Timur Tengah), lalu kita kreasikan sendiri yang baik di sini,” ujar Machasin.

Penyebab kurangnya mempelajari karya Ulama besar sendiri, menurut dia, mungkin masih melekatnya mentalitas kurang percaya diri dengan barang milik sendiri.

Hal lain, dari segi literatur Indonesia tidak memiliki sistem reproduksi yang bagus, relatif banyak buku tersebut ditulis tangan, atau dicetak untuk kalangan sendiri. Karena tidak percaya diri, lalu tidak diproduksi dan sebarluaskan. Kemungkinan lain, mutunya belum begitu bisa bersaing dengan tulisan karya-karya orang besar.

“Kalau selamanya kita merasa yang tidak bermutu tidak dipelajari, ya, sudah kita ketinggalan terus. Bagusnya, yang kita miliki dipelajari, dan kalau dibutuhkan mutunya itu pasti akan meningkat,” ucap Machasin.

Sementara itu, Prof. Dr. Edwin Wieringa dari University of Cologne, Germany, seorang ahli sastera Jawa, yang menjadi pembicara kunci pada simposium itu menilai bahwa warisan Indonesia dengan naskah-naskah pentingnya tidak lagi mendapat perhatian sebagian masyarakat Indonesia.

“Bagaimana Anda melihat dan menilai warisan naskah dan khazanah Indonesian di Indonesia bila sering kali naskah tersebut dimuseumkan saja, ada di perpustakaan sehingga tidak dikenal karena diletakkan saja,” ujar Edwin.

Ia menekankan, “Hal ini perlu dilestarikan. Kalau mau melestarikan naskah harus disimpan baik-baik dan harus direstorasi,” demikian D.Dj. Kliwantoro.

Artikel ini ditulis oleh: