Jakarta, Aktual.com — Nabi Muhammad SAW bersabda, “Siapa yang mengambil hak orang lain walau sejengkal tanah, akan dikalungkan hingga tujuh petaka Bumi”. (BH.Bukhari dan Muslim).
Tanah merupakan salah satu bagian dari Bumi Allah yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di dunia (Q.S Al-hajj 15:20 dan Al-A’raaf 7:10). Kebutuhan manusia akan tanah sedemikian besar karena hidup dan hidupannya sehari-hari tidak bisa dilepaskan dari tanah, karena dia berasal atau diciptakan dari tanah ( Q.S Ali Imran 3:59, Al-Hijr 15:28-29, Al-Ahzaab 33:7-9, Ash-Shaaffat 37:11, Ath-Thalaaq 65:12, Nuh 71:17) dan akan kembali atau di kubur di tanah ( Q.s Al-Maa-idah 5:31).
Di atas tanah lah manusia melakukan berbagai aktivitas guna memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidupnya, kini dan masa yang akan datang. Namun keberadapaan tanah ini pula yang telah menimbulkan masalah dan persengketaan antar manusia, baik dalam lingkungan suatu keluarga, masyaraka, bahkan suatu bangsa dan negara, yang tidak akan ada habis-habisnya sejak dulu kala, hingga masa kini dan zaman mendatang.
Sengketa tanah yang muncul dalam lingkungan keluarga, biasanya berkaitan dengan persoalan pembagian waris, yang antara lain dilakukan secara tidak adil dan sesuai dengan ketentuan yang digariskan syariat islam (Q.S An-Nisaa’ 4:7, 11-14).
Dampaknya bukan hanya menimbulkan permusuhan antar keluarga, bahkan konflik yang berkepanjangan, sehingga berujung pada putusnya silaturahmi atau berakhir pada pembunuhan. Masalah kurban yang diberikan untuk Allah SWT saja dalam keluarga bisa menimbulkan terjadinya tindakan pembunuhan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh putera Nabi Adam AS, Qabil terhadap adiknya sendiri, Habil, (Q.S Al-Maa-idah 5:27-30) di masa dahulu, apa lagi masalah tanah yang berkaitan dengan harta benda dan kebutuhan hidup primer manusia.
Ada pun sengketa tanah yang timbul dalam lingkungan masyarakat biasanya berkaitan dengan persoalan: 1. Pengorbanan, 2. Penggusuran sewenang-wenang dan 3. Memindahkan batas-batas tanah sehingga mengambil hak milik orang lain.
Dampaknya bukan hanya menimbulkan saling klaim sebagai pemilik hak tanah, melainkan juga konflik dalam masyarakat yang tidak akan berhenti sebelum keadilan ditegakkan. Nabi SAW mengingatkan dalam sabdanya di atas. Imam Nawawi RHM dalam penjelasannya tentang hadis ini mengatakan: “ Tanah orang lain yang diambil itu akan digali hingga tujuh petaka bumi kemudian dikalungkan dilehernya (orang yang mengambil tanah itu)”. Salim Bahreisy, Terjemahan Riyadush- Shalihin l, hal. 222)
Terkait dengan penjajahan
Problematika tanah yang terjadi berkaitan dengan bangsa dan negara, biasanya berkaitan dengan penjajaha, pencaplokan dan penguasaan tanah milik suatu bangsa oleh bangsa lain. Hal itu sebagai bangsa dan negara Palestina yang tanahnya dicaplok dan dirampas oleh bangsa dan negara zionis Israel sehingga menimbulkan konflik dan peperangan yang telah menimbulkan banyak korban umat Muslim, penderitaan hidup yang berkepanjangan dan kerugian materi yang sedemikian besar hingga saat ini.
Bangsa dan negara zionis Israel dengan alasan tanah yang dijanjikan, maka dengan zalim merampas dan menduduki tanah bangsa dan negara Palestina. Antara tanggal 20 November 1947 hingga 15 Mei 1948 zionis israel tela mencaplok tiga perempat tanah palestina (lihat sejarah Ilmunati: Menciptakan The Great Zionis Israel di Tanah Palestina, Era Muslim, 05 Mei 2005) dan hingga kini masih mendudukinya, kecuali jalur Gaza dan Tepi Barat.
Bahkan, Zionis Israel dengan alasan antara lain menjaga wilayah kedaulatan negaranya, terus menerus melakukan genocidedan pembunuhansecara keji terhadap rakyat dan bangsa Palestina yang tidak berdosa. Bangsa Zionis Israel sejak dahulu hingga sekarang tiada lain terkenal sebagai orang yang suka berbuat zalim, fasiq, sombong, dan serakah seperti binatang kera atau monyet. (Q.S Al-A’raaf, 7:162, 163,166 & 169).
Ada saja perkara
Masalah tanah di zaman modern ini termasuk persoalan yang tiada henti-hentinya muncul seiring dengan gerak kehidupan manusia, sehingga setiap hari ada saja perkara yang berhubungan dengannya, apa lagi di daerah perkotaan yang tiada lain berkaitan dengan tingginya harga tanah per meter.
Pihak pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam masalah tanah, juga menghadapi masalah tanah milik negara atau tanah yang termasuk dalam kategori jalur hijau atau fasilitas umum. Antara lain karena disalah-gunakan oleh masyarakat dan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sehingga pada saat akan diambil alih untuk dikembangkan fungsinya, sekalipun dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki, telah menimbulkan konflik vertikal.
Orang-orang yang merasa tanahnya dirampas pemerintahan atau negara dengan alasan telah menempati tanah itu dalam waktu lama dan membayar pajak, meski itu tanah negara, jalur hijau atau fasilitas umum. Dengan sendirinya mereka melakukan perlawanan fisik atau menempuh jalur hukum dan pengadilan, walau berakhir dengan bentrok fisik dengan aparat pemerintahan dan keamanan, serta kerao dikalahkan oleh kekuatan dan kekuasaan pemerintahan atau negara.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang berwenang mengurus masalah tanah, terutama yang berkaitan dengan kedudukan dan status hukumnya dengan mengeluarkan sertifikat tanah hak milik, hak guna bangunan dan lain sebagainya tidak luput menghadapi berbagai persoalan tanah yang terkadang tidak mampu diselesaikan dengan baik. Misalnya bila ada persengketaan tanah antara dua pemegang surat sertifikat yang sama-sama dimiliki hak atas tanah tersebut, sekali pun sudah dilakukan mediasi penyelesaian masalah tanah dengan musyawarah.
Tidak dapat diselesaikan
Namun bila salah satu pihak tidak hadir atau tidak mau hadir, masalah tanah itu pun tidak dapat diselesaikannya, kecuali hanya sebatas melakukan pencegahan pada pihak yang tidak hadir itu, dengan tidak memberikan sertifikat baru apa pun, apabila tanah itu dipecah, dijual atau diberikan kepada pihak lain. Itu pun jika pejabat yang bersikap demikian masih ada, bagaimana jika mereka tidak ada dan sudah diganti dengan pejabat lain, apakah akan tetap dilakukan usaha pencegahan tersebut?
Oleh karena itu, bagi yang hendak membeli tanah dalam masyarakat, termasuk rumah melalui developer perumahan dewasa ini perl berhati-hati dan teliti, sebab mendengar berita saja harus diperiksa secara teliti (Q.S. Al-Hujuraat 49:8) lebih dahulu. Apa lagi yang berkaitan dengan kedudukan dan status hukum tanah dan rumah yang akan dibelinya, apakah benar-benar tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari?.
Untuk masalah ini legalitas tanah tersebut perlu diteliti, bagaimana keafsahan surat-suratnya, sehingga perlu melakukan pengecekan ke BPN, apakah benar-benar surat sertifikat yang dimiliki si penjual atau sudaj pemilik lainnya?
Dengan kehati-hatian dan ketelitian, terutama berkaitan dengan masalah kedudukan dan status hukum tanah yang akan dibeli, diharapkan tak menimbulkan masalah di kemudian hari.Pihak pembeli dan penjual harus bekerja sama dengan baik, bukan saja dalam menentukan harga tanah, melainkan juga dalam melakukan pengecekan dan pengurusan yang berkaitan dengan surat-surat, khususnya Sertifikat Tanah yang benar-benar legal dan sah.
Limpahkan kepada BPN
Selain dari itu bagi yang hendak membeli tanah kosong, selain masalah kedudukan dan status hukumnya, katakanlah suratnya hanya “girik”, juga perlu diperjelas batas-batas tanah, agar tidak sampai salah, sehingga tidak mengambil lahan orang lain. Dalam hubungan ini masalah saksi-saksi dari pihak penjual diperlukan, untuk selanjutnya dilimpahkan kepada pihak BPN guna melakukan pengukuran resmi dalam menentukan keafsahan dan kepastian luas tanah dan batas-batasnya, sehingga dalam sertifikat Tanah Hak Milik (SHM) yang diterima akan tampak jelas gambar ukurannya.
Ada pun bagi yang membeli tanah dan rumah di perumahan apa pun, yang ternyata hanya hanya mendapatkan surat Hak Guna Bangunan(HGB), maka sebaiknya segera ditingkatkan statusnya menjadi SHM, agar lebih kuat lagi kedudukan dan status hukunya.
Bagi Yayasan atau Organisasi Massa (Ormas) yang mendapatkan tanah wakaf dari masyarakat, maka selain harus mengurus Surat Keterangan Nadzir yang menerima wakaf dari Kantor Urusan Agama (KUA) dengan ditandai muwakif dan Nadzir, juga dilanjutkan dengan pengurusan Surat Wakaf dari Badan Wakaf Indonesia (BWI), yang kemudia bisa digunakan untuk pembuatan sertifikat Tanah Wakaf di BPN.
Namun setelah keluar sertifikat, maka sebaiknya tanah wakaf tersebut dipagar dan dipasang dan dipasangkan plang nama pemiliknya atau segera dibangun sehingga tidak dibiarkan dalam keadaan kosong. Sebab jika dalam waktu tertentu, sesuai dengan undang-undang yang berlaku, tanah tersebut tidak dimanfaatkan pihak nadzi, maka pihak muwakif dibenarkan, antara lain mengambilnya kembali. Selain itu seandainya tanah itu dibiarkan kosong, akan dikhawatirkan diserobot atau diambil alih dan dibangun oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab.
Bila tanah wakaf mengalami keadaan seperti itu, maka pihak Yayasan atau Omas, mau tidak mau harus mempertahankan amanat yang dibebankan kepadanya dan berusaha mengurus masalah tanah itu, baik kepada pihak yang menyerobot dan mengambil alih atau melalui jalur pemerintahan dan aparat penegak hukum.
Kepada pihak penyerobot dan pengambil tanah bisa diajak bermusyawarah dan berdamai melalui mediasiyang sebaiknya dilakukan, antara lain oleh pihak pemerintah atau kelurahan setempat, guna mencari solusi terbaik dalam menyelesaikannya. Namun bila ternyata mediasi dikelurahan tidak berhasil, maka berikutnya dapat dilanjutkan oleh BPN, antara lain dengan memanggil pihak yang bersengketa dalam masalah tanah tersebut.
Begitu pula jika mediasi melalui BPN juga tidak selesai dan membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, maka pihak Yayasan dapat melaporkannya, antara lain kepada aparat penegak hukum atau kepolisiann atau secara hukum menggugatnya kepengadilan. (Muhsin MK – Depok, Jawa Barat/ Dikutip Haydar Maulana Ali, pegawai magang Aktual.com).
Artikel ini ditulis oleh: